Menggeluti Dunia dengan Kata


Fahrul duduk tenang di atas sebuah kursi plastik hijau. Ia menghadap sebuah meja berukuran 1 x 0,5 dengan tinggi satu meter. Pandangannya tertuju pada layar laptop berukuran 11 inchi. Matanya fokus pada rangkaian huruf yang ia ketik. Jarinya-jarinya begitu lihai menari di atas huruf pada papan ketik laptop.
Kamar Fahrul berisi banyak tumpukan buku di samping meja. Tumpukan buku itu ia letakkan di atas meja-meja kecil, berjajar sepanjang 3 meter. Buku-buku tersebut ialah sebagian kecil koleksi perpustakaan pribadinya. Di samping tumpukan buku juga ada piala, tempat pensil dan kerajinan tangan. Di balik meja tempatnya menulis, terdapat dua buah kasur lantai berbeda ukuran. Yang satu ukuran 2,5 x 2 meter, yang satu lagi berukuran 1,5 x 2 meter. Kasur itulah yang ia gunakan untuk istirahat atau bersantai.
Sebuah buku berjudul Max Havelaar tergeletak tepat di samping laptop. Sesekali mata Fahrul tertuju pada buku bersampul lukisan penggembala kerbau itu. Sudah menjadi kebiasaannya meletakkan sebuah buku di sampingnya ketika sedang menulis. Selain memandangi sampulnya, sesekali ia juga membuka buku itu. Hal itu ia lakukan sejak pertama menulis. Dengan memandangi atau membuka buku-buku bagus yang sudah ada, ia sering mendapat ide cerita. Panduan penulisan yang sesuai kaidah ejaan bahasa Indonesia juga ia temukan dari buku-buku itu. Semangatnya pun lebih terpacu. Fahrul adalah tipe orang yang lebih suka melihat contoh daripada rumus. Itu menjadi analogi kebiasaannya menulis.
Suasana kamarnya sepi dan tenang. Namun, lantunan ayat-ayat Alquran terdengar jelas dalam ruangan berukuran 4,5 x 5 meter itu. Maklum saja, rumah pamannya, yang ia tempati itu, berada di lingkungan pondok pesantren. Jika tak ada lantunan ayat Alquran atau salawat dari masjid pesantren, ia memutar instrumen-instrumen yang membuatnya nyaman.
Nama lengkapnya Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim. Ia lahir di Tuban, 02 Maret 1991. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Malang ini memiliki prestasi dalam bidang penulisan sastra sudah ratusan jumlahnya. Fahrul mulai mencintai dunia tulis-menulis sastra sejak ia duduk di bangku SMP. Ketika itu, majalah di sekolahnya menjadi media yang prestisius. Ia tertarik untuk mengirim cerpen ke redaksi. Setelah dua kali karyanya ditolak, barulah naskahnya dimuat. Cerpen Jalan Meraih Juara Kelas dan Hantu Perpustakaan dimuat sekaligus dalam satu edisi. Hal itu membuatnya bangga dan menjadi titik awal ia suka menulis sastra.
Sejak SD, Fahrul sudah tertarik pada bacaan. Ayahnya seorang guru agama dan pembina pramuka. Oleh karena itu, di rumahnya banyak terdapat Majalah Mimbar dan Pramuka. Ibunya yang seorang ibu rumah tangga ternyata juga suka membaca. Mereka sering membeli koran. ketika masa akhir duduk di bangku SD, Fahrul dan keluarganya pindah rumah. Di rumah barunya, tidak ada TV. Hiburan satu-satunya adalah buku. Semakin lama, ia semakin haus bacaan.
Ketika kecil, Fahrul mengalami sakit mata. Matanya alergi sinar matahari. Hal itu memaksanya untuk tidak keluar rumah. Sehingga membaca menjadi pelariannya. Ketika berada di sekolah, tempatnya bermain di perpustakaan. Selain itu, memang uang sakunya terbatas. Sepulang sekolah, Fahrul lebih banyak menghabiskan waktu dengan membantu orang tuanya menjaga toko atau menjaga adiknya yang masih kecil. Ia juga membuka rental komputer di rumah. Sambil menulis, ia membantu teman-temannya mengetikkan tugas. Dari situ ia memperoleh uang yang cukup menambah uang jajannya. Orang tuanya sempat tak percaya dan meragukan kemampuannya. “Mana mungkin orang dapat hidup dengan menulis?”. Begitu juga orang-orang sekitar seringkali meremehkannya.
Fahrul merupakan anak yang sering di-bully oleh teman-temannya. Banyak teman bahkan guru yang meragukan kemampuannya. Ketertarikannya pada dunia tulis menulis sempat terhenti ketika ia kelas XI SMA. Ketika itu musimnya anak muda nge-band. Fahrul sempat ingin ikut trend anak muda pada masanya, tetapi terhalang fasilitas. Fahrul juga sadar bahwa ia pemalu terutama ketika tampil di depan khalayak.
Ketika kelas XII, Fahrul merasa tidak cocok. Ia pun sadar, menulis adalah dunianya. Perpustakaan sekolah menjadi kelasnya yang kedua. Di sana, ia menemukan novel-novel teenlit. Setiap minggu, ia membaca hingga dua novel. Semangatnya semakin membara. Ia sampai punya keinginan untuk menerbitkan novel sebelum lulus SMA.
Fahrul semakin rajin menulis naskah novel pertamanya. Ia sangat bahagia ketika ada dukungan dari Bu Yuyun, satu-satunya guru yang mendukungnya menulis. Setiap selesai menulis tiga bab, disetorkan pada Bu Yuyun untuk dikoreksi dan diberi masukan.
versi Majalah Komunikasi
Sejak kecil, Fahrul ingin mendapat piala. Ia sering mengikuti lomba menggambar, mewarna, dan cerdas-cermat, tetapi selalu gagal. Barulah dengan menulis, ia memperoleh prestasi yang dapat ia banggakan. Ia pun dapat membuktikan pada orang-orang yang dahulu merendahkannya bahwa menulis dapat membesarkan namanya. Tahun 2010, cerpennya yang berjudul Ocehan Shaira dimuat di majalah nasional Kawanku. Fahrul semakin percaya diri.
Pilihan Fahrul mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis membawa nasib baik baginya. Ia menemukan penulis-penulis yang banyak memberinya inspirasi dan motivasi. Fahrul juga mempunyai kesempatan untuk belajar dari para penulis yang ia kenal. Dengan melihat kelebihan penulis lain, Fahrul sering melakukan introspeksi. Semakin lama, menulis membuatnya bahagia.
Banyak karyanya baik cerpen, puisi, maupun esai yang dimuat di banyak media massa nasional dan memenangkan lomba. Banyak pula karya Fahrul yang diterbitkan oleh Andi Publisher. Kumpulan cerpen berjudul Cowokku Vegetarimood diterbitkan tahun 2013. Novel Hiding My Heart dan Dandelion Lover diterbitkan tahun 2015. Tiga kumpulan puisi Fahrul juga menembus gramediana versi e-book, yaitu Relung Sunyi, Sembilu Merah Putih, dan Kuncup Musim.
Inspirasi cerpen-cerpen Fahrul berasal dari bacaan, berita, observasi sekitar, dan pengalaman pribadi. Sedangkan esai dan puisi terinsipirasi dari bacaan sejarah. Latar belakang pendidikan sejarah tidak serta merta menjadi inspirasinya menulis cerpen atau novel. Fahrul belum nememukan chemistry. Ia belum merasa klik. Ia juga merasa takut karena cerita sejarah membutuhkan riset mendalam.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 wib, Fahrul menyimpan dokumen yang baru saja ia selesaikan. Ia menyilakan laptopnya. Laptop yang sudah setahun menjadi kawan berjuangnya. Ia pun membersihkan diri. Lampu kamar ia matikan. Lalu, tubuh setinggi 169 cm dengan berat 60 kg mulai ia istirahat. Ia pejamkan matanya, tetapi tidak harapan-harapannya. Fahrul masih harus terus berkarya untuk memenuhi target-targetnya. Sebuah antologi puisi sejarah karyanya berjudul Monolog Waktu juga baru saja terbit. Ia juga berharap agar bisa memanfaatkan beasiswa tesis Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dengan maksimal agar segera wisuda, dan terus berkarya sambil membantu orang tua memenuhi pendidikan adik-adiknya. “Biarkan karya yang bicara. Mungkin dengan cara ini aku membalas kasih sayang orang tuaku,” ungkap Fahrul sambil tersenyum bangga.


dimuat Majalah Komunikasi UM: Edisi September – Oktober 2016

Comments

  1. Selamat, Mas :* terus produktif dan semoga oleh Tuhan disegerakan move upya.

    Aku juga baca ulasan soal dirimu ini di majalah Komunikasi UM :* :*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Kamu juga harus selalu smgt ya Pop. Makasih :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan