Saat Hak Perempuan Terancam dalam Pernikahan

Judul Film       : Talak 3
Sutradara         : Hanung Bramantyo & Ismail Basbeth
Pemain             : Vino G. Bastian, Laudya Cintya Bella, Reza Rahadian
Produksi          : MD Entertainment
ResensiTahun Rilis      : Februari 2016
Durasi              : 75 menit


            Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang tidak doyan duit. Seloroh petugas KUA dalam film ini menjadi tema besar yang melandasi film komedi romantis ini. Sebenarnya film ini sangat serius tetapi kolaborasi sutradara kondang Indonesia ini bisa mengemas persoalan korupsi di Indonesia dengan dialog yang cerdas, situasi yang komikal dan adegan yang natural. Cerita bermula ketika Bagas (diperankan Vino G. Bastian) dan Risa (Laudya Cinta Bella) yang sudah bercerai tiga bulan diteror oleh agen properti karena telat membayar cicilan rumah. Mereka yang baru saja bercerai ternyata menumpuk banyak utang dan kehabisan harta demi mempertahankan ego masing-masing. Perceraian ternyata berimbas besar pada kejatuhan bisnis mereka sebagai agen event organizer. Bimo (Reza Rahadian), asisten sekaligus sahabat mereka, ternyata menyadarkan mereka tentang kolaborasi mereka yang hebat dalam berbisnis. Kabar baik juga datang dari Inggrid (Tika Panggabean) bos mereka yang menerima akhirnya proposal wedding organizer yang telah lama mereka ajukan.
            Proposal itu menjadi titik balik dalam hidup mereka karena atas nama ide kolaborasi, sang bos mewajibkan mereka kembali menikah secara sah.     Atas tuntutan utang dan rasa sayang yang masih tersisa, Bagas dan Risa berusaha kembali menikah didukung oleh Bimo. Namun mereka terancam tidak bisa menikah karena dulu Bagas sudah menjatuhkan talak 3 kepada Risa. Walau pun sudah mencoba suap sana-sini, mereka akhirnya gagal mengakali sistem pengadilan. Satu-satunya solusi ialah mencarikan mualil untuk Risa yaitu lelaki yang bersedia menikah dan diceraikan dengan cepat. Bagas yang gampang cemburu menetapkan keriteria telak untuk calon mualil: tidak boleh melakukan hubungan suami istri padahal hal itu hukumnya wajib. Mulai dari lelaki flamboyan sampai guru spiritual gadungan sudah ditawarkan untuk Risa, tapi selalu berakhir berantakan. Akhirnya pilihan jatuh pada Bimo, yang dianggap pengertian dan bisa dipercaya untuk jadi mualil. Semua berjalan lancar sampai akhirnya Risa menemukan rahasisa terbesar Bimo soal cinta pertama dalam hidup sahabatnya sejak kecil itu. Situasi semakin rumit saat Risa dan Bimo akhirnya justru ingin menikah secara serius, bukan sandiwara seperti yang mereka rencanakan selama ini bersama Bagas.
            Keputusan apa pun dalam pernikahan termasuk memutuskan bercerai harus direnungkan dengan mendalam agar tidak berjunung penyesalan dan merugikan banyak pihak. Talak dalam Islam justru berfungsi untuk melindungi kaum perempuan dari kesewenang-wenangan lelaki. Pada zaman jahililah di Arab dulu lelaki begitu gampang menikah dan menceraikan perempuan sehingga perempuan selalu berakhir jadi korban. Perempuan tidak hanya menanggung luka hati sendirian tetapi beban malu dan stigma sosial. Sungguh disayangkan sosok Risa dalam film ini justru lemah dalam mewakili sosok perempuan tegar yang memperjuangkan nasib perempuan dalam pernikahan. Risa terlalu manut dengan alur yang direncanakan Bagas untuk dirinya sehingga Risa jadi perempuan yang susah untuk mandiri dan ceroboh. Sosok Risa seolah mewakili kebanyakan ibu-bu muda masa kini yang materialistik, pengejar karir tapi mudah labil. Alterego Risa yaitu sosok-sosok perempuan bijaksana justru terlihat dalam diri Budhe yang akhirnya menyadarkan Risa tentang keberanian memilih dalam hidup ini, bahwa perempuan juga punya hak untuk mencari hal terbaik untuk diri mereka sendiri.
            Kasus korupsi yang kerap terjadi di kementerian agama juga disindir dengan jenaka dalam film ini sehingga tanpa disadari penonton bisa mengambil hikmah sambil merefleksi diri. Basuki Alur cerita yang cepat membuat pembangunan emosi antar tokoh menjadi kurang intens. Hal ini berpengaruh besar pada emosi cerita yang disalurkan kepada penonton menjadi lemah. Logika cerita juga menjadi lubang tersendiri di beberapa adegan namun terasa seperti wajar karena hal tersebut juga biasa terjadi di Indonesia. Sungguh disayangkan setting Yogjakarta tampaknya kurang dimanfaatkan secara kultural untuk mendukung potensi cerita menjadi lebih berbobot. Akhir-akhir ini memang banyak film laris yang mengambil latar di kota tersebut sehingga jadi tren latar film-film Indonesia tapi justru hanya sebagai latar biasa. Jika latar cerita dipindah ke kota lain pun, nuansa film juga tetap sama.
Pernikahan pasangan muda selayaknya direncanakan dengan matang lahir dan batin. Seminar pranikah yang kerap diadakan di berbagai kampus bisa dijadikan lahan pembelajaran awal agar tidak mudah labil dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Film ini seolah menegaskan bahwa apa yang dimulai dengan niat buruk, pasti tidak akan berakhir baik. Seperti disimpulkan dalam salah satu dialog anti-klimaks film ini: walau pun muka bapak tak enak, kami butuh orang-orang bersih seperti bapak untuk menikahkan mereka---orang-orang terbaik dalam hidup saya.

Juara Harapan 1 Lomba Menulis Resensi 2016 dan dimuat Majalah Komunikasi edisi 310 Mei – Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan