Wisata Pancasila: Toleransi Asli Indonesia



Oleh: M. Nurfahrul Lukmanul Khakim
 
Toleransi Kita Terancam
Kemacetan Toleransi
            Sejarah terus mencatat diskriminasi antarumat beragama di Indonesia ini. Kompas (2011:2) menunjukkan Laporan Setara Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2010, yang diluncurkan di Jakarta, Senin (24/1), mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan. Kejadian itu tahun 2010 menyebar di 20 provinsi. Hal ini sungguh ironis karena tidak sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
            Faktor utama penyebab berkurangnya rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia antara lain karena rendahnya pemahaman pada nilai-nilai Pancasila, terutama kurangnya wawasan multikulturalisme yang termaktub dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Setiap ajaran agama pasti mengajarkan manusia untuk hidup penuh cinta kasih dan tidak saling menyakiti. Setiap pemeluk agama yang taat dan memahami multikulturalisme dengan baik dan tidak mungkin melakukan teror semena-mena. Faktor lingkungan yang antitoleran dapat memunculkan dampak psikologis pada seseorang yaitu sifat radikal. Faktor lingkungan ini bisa terjadi karena dalam kehidupan masyarakat multikulturalisme dalam otonom daerah terdapat satu sisi kelompok yang mendapat kepuasan dan kebanggaan, sedangkan di sisi lain terdapat lingkungan kelompok yang tidak puas karena tidak memiliki pemahaman yang benar dalam wawasan multikulturalisme (Huda, 2010).
            Akibat dari faktor rasial itu antara lain adanya diskriminasi atau pengucilan kelompok tertentu. Sehingga kelompok tersebut merasa tidak dihargai dan dihormati. Secara psikologis mereka merasa tertekan dan terbebani dalam memeluk atau menjalan ibadah mereka dan hilangnya rasa saling mempercayai antara rakyat dan pemerintah (Huda, 2010). Keadaan bertolak belakang dengan “harapan” perumusan falsafah hidup bangsa: Pancasila. Dalam nilai-nilai Pancasila, bangsa Indonesia diwajibkan untuk saling menghormati dan menghargai antar umat manusia tanpa pandang bulu. Sehingga tercipta kerukunan dan ketentraman yang harmonis. Hal itu dapat digunakan sebagai modal pembangunan bangsa ke arah yang lebih baik.
Muhammad Abdullah Wazaar dalam Praja, dkk (1982:15) menyatakan agama adalah suatu perundang-undangan Tuhan yang memberi petunjuk kepada kebenaran dalam keyakinan-keyakinan, dan memberi petunjuk dalam bertingkah laku dan pergaulan-pergaulan. Agama yang diakui secara sah oleh Pemerintah Indonesia ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan keyakinan Kong Hucu.
            Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya teror antar umat beragama antara lain adalah meningkatkan keimanan pada Tuhan yang maha esa dan reorientasi pemahaman. Pribadi yang takwa dan beriman taat pada agamanya pasti akan menjalan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya. Semua ajaran agama mengajarkan agar manusia selalu berbuat baik pada sesama dan menjauhi kebathilan. Reorientasi pemahaman dari pemaknaan agama yang kontekstual, rigid, dan sempit menjadi pemahaman yang kontekstual, fleksibel, dan lebih terbuka (Huda, 2010).
           
Bapak Pendiri Bangsa: Soekarno

Toleransi Para Pejuang Pancasila
Pada awal rancangan pancasila, sila ketuhanan yang maha esa menjadi sila yang paling akhir. Sukarno mencetuskannya dalam pidato 1 Juni 1945 yang akhirnya dikenal dengan pidato “Lahirnya Pancasila”. Ketika berlanjut pada perumusan Piagam Jakarta, barulah sila ketuhanan yang maha esa berada di urutan pertama dengan redaksional: Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Poesponegoro & Nugroho, 2010). Panitia Sembilan yang membentuk Piagam Jakarta ini menyadari pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam membentuk manusia yang berbudi luhur, khususnya bagi umat Islam. 
 
Ulama NU Terkemuka: Wahid Hasyim
Hatta menyadari bahwa redaksional tersebut diperkirakan memicu keberatan dari penduduk Indonesia yang beragama lain. Hatta mengusulkannya pada Wahid Hasyim yang semula sangat menyerukan nilai Islam dalam batang tubuh ideologi negara RI. Hatta menekankan pentingnya persatuan bangsa Indonesia daripada hanya sekedar redaksional ideologi negara. Wahid Hasyim langsung menerima usulan Hatta untuk mengganti redaksional “pengkhususan Islam” itu padahal dasar negara sudah disahkan pada 18 Agustus 1945 (Bashri & Suffatni, 2012).
Bapak Koperasi Indonesia: Moh. Hatta
 Dalam perumusan pancasila tersebut terlihat jelas betapa tingginya jiwa moderat yang dimiliki oleh ulama seperti Wahid Hasyim, ulama yang kala itu dijuluki wakil Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Usulan Hatta tersebut langsung disetujui oleh Wahid Hasyim karena beliau berprinsip tiap-tiap muslim adalah demokrat karena Islam adalah agama demokratis. Beliau senada dengan Hatta bahwa persatuan bangsa Indonesia yang utama. Terlihat jelas implementasi sila persatuan bangsa Indonesia yang telah dijalankan oleh kedua tokoh besar Indonesia itu dalam merumuskan dasar negara. Dalam pandangan Wahid Hasyim, batang tubuh dasar negara yang sudah direvisi tersebut justru dapat menempatkan aspirasi semua golongan beragama, tidak hanya Islam dalam bersama-sama serta bahu-membahu bersatu di dalam negara Indonesia modern.
Pendiri Muhammadiyah: Ahmad Dahlan
 Pandangan serupa pada saat yang hampir bersamaan juga diungkapkan Ahmad Dahlan, selaku pendiri Muhammadiyah, bahwa Pancasila dapat diisi dengan ajaran-ajaran dan amalan-amalan Islam. Artinya beliau mengajak seluruh muslim Indonesia untuk menjadikan Pancasila bukan sekedar prinsip tapi aksi yang nyata. Intisari pengamalan yang utama adalah menjaga pentingnya persatuan bangsa Indonesia khususnya memupuk toleransi antarumat beragama. Khususnya bagi umat Islam selaku agama mayoritas diharapkan dapat saling mengayomi dan menjadi tonggak kerukunan dengan pemeluk agama lainnya.
The Smiling Diplomat: Sutan Sjahrir
 Sutan Sjahrir juga menekankan pentingnya menjunjung toleransi dengan penafsiran dan pengamalan sila kedua yaitu pengertian integral kebudayaan-peradaban yang mencakup segi moral sehingga secara totalitas tidak terbagi-bagi telah masuk dalam redaksi final Pembukaan UUD 45, dalam sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Umat beragama yang beradab dan berbudaya harus teguh dalam menjaga persatuan Indonesia. Perubahan kemajuan Indonesia ditentukan dari semangat bersatu seluruh rakyat Indonesia yang dikenal taat dalam menjalankan ibadahnya. Perlu digarisbawahi bahwa taat bukan berarti antipati dengan pemeluk agama lain. Membudayakan penghayatan agama yang beradab dapat menumbuhkan sikap saling memahami, mengerti, bertenggang rasa, dan ikut menjaga ketentraman dalam kebebasan beragama. Ketiga tokoh besar tersebut menunjukkan jiwa moderat dalam membentuk dan memperjuangkan negara yang multikultural.
Toleransi Nenek Moyang Kita

Masyarakat Moderat dalam Pancasila
Kehidupan beragama di Indonesia berlangsung secara harmonis bahkan sejak zaman Indonesia kuno. Pada tahun 1432, Ma Huan, ahli tafsir dan penerjemah Cheng Ho, mengunjungi Trowulan (ibukota Majapahit). Dia terkesima dengan “kedamaian hidup” masyarakat Majapahit yang terbagi dalam tiga golongan: pedagang muslim dari Barat (Arab), warga China Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindu-Buddha (Eriawati dalam Thamrin, 2012:26). Raja Majapahit juga dapat “memperlakukan” seluruh warganya dengan adil bahkan melindungi kebebasan beribadat dengan undang-undang yang berlaku.
Toleransi YES! (Saya dan Kerry)
 Sejarah telah mencatat jiwa moderat dalam kehidupan beragama di Indonesia dari abad ke abad. Pelaksanaan toleransi di masa lampau inilah yang menginspirasi Sukarno ketika mencetuskan Pancasila sebagai falsafah hidup negara. Pemaknaan, pemahaman, dan prinsip Pancasila sebagai power house atau sumber kekuatan toleransi di Indonesia perlu kembali digalakkan.


DAFTAR PUSTAKA

Bashri, Yanto & Suffatni, Retno (Ed.). 2012. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: LkiS

Kompas. 25 Januari 2011. Pemajuan Kebebasan Beragama Mandek, hal. 2.

M. Huda A.Y. 2010. Kajian Filosofis Otonom Daerah Bidang Pendidikan. FIP UM: Malang

Thamrin, Mahandis Y. 2012. Metropolitan yang Hilang, hal. 20-47, National Geographic. Jakarta: Gramedia

Popesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho (Ed.). 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka

Praja, Juhaya S. & Syihabuddin, Ahmad. 1982. Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Angkasa

Sumber foto pahlawan: google.co.id

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan