Amarah Samudera


:26 Desember 2004


Tiada sedebu gelagat
Matahari masih setongkat
Embun menetes dari corong masjid
Membasahkan bekal peradaban

Nelayan-nelayan masih asin
Mendadak pecah segala
Seolah raksasa hendak mengamuk
Panik dan ketakutan membadai
pada warga tanah rencong
“Gempa! Gempa!” Pedagang di pasar berkalut-kalut.
Atap bebangunan miring, retak di jalan dan tembok menyerupai cakar Izrail
Orang-orang dijerat bingung, turun mengepak sejuta tanya di halaman rumah

Terlambat berfirasat, mereka saling melempar tahmid
Sebagian kembali pada keseharian: menyulam kehidupan
Mereka tak cukup memahami pertanda bumi yang berguncang

“Gelombang air bah besar! Ombak laut naik! Lari!”
Tunggang-langgang, penduduk dikejar maut
Debur pasang menjelma milyaran sihir kematian
melempar kapal ke daratan yang tengah bergerilya merah
melarutkan ribuan rumah, jalan, bahkan sekolah-sekolah
membaur tumbal kemurkaan laut.

Belum, amarah samudera masih lapar.
Maka mulut dan gigi mereka semakin hitam
menguntai syair-syair duka yang menyayat
bangkai-bangkai bertaburan di sekujur pesisir,
entah di mana pasir
mengubur nyawa mereka.

240412

dimuat majalah Komunikasi Tahun 34 No. 282 September-Oktober 2012

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan