Beringin Putih


Oleh: M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim
           

Alun-alun Kota Malang
            Daun-daun beringin membasahi permukaanku. Tetes-tetes rintik hujan mewarnai kesejukan sore itu. Tubuhku semakin renta ditelan zaman. Tapi aku akan selalu dikenang sebagai sebuah tempat yang mempertemukan segala hal yang ada di Malang. Aku selalu ramai, meskipun sebenarnya aku sangat ingin sepi sejenak. Agar aku bisa sedikit bernapas dan bersantai. Memangnya manusia saja yang boleh bersantai, aku juga perlu. Tapi manusia mengagumiku bukan karena aku sepi tapi karena aku selalu ramai.
            Hari itu hari Sabtu, seperti biasa gelombang manusia menghiasi berbagai sudut tubuhku. Aku punya 2 orang pengunjung favorit. Mereka bersahabat erat. Mereka senang menghabiskan waktu di pelataran tubuhku. Mereka Diandra dan Nifa. Mereka bersahabat sejak kecil. Tapi sayang, sore ini mereka sedang memperdebatkan sesuatu.
            “Memangnya kamu aja yang punya impian kuliah di luar negeri? Aku juga. Tapi sayang kondisi tubuhku yang seperti ini tidak memungkinkannya,” Diandra berujar sebal. Kursi rodanya berderit-derit karena tubuhnya yang terguncang.
            “Tapi kesempatan tidak pernah datang dua kali, Ndra…,” Nifa mencoba menjelaskan. “Aku akan selalu menghubungimu. Kau tidak akan pernah kesepian.” lanjutnya.
            Tapi Diandra tetap tidak ingin Nifa pergi. Nifa mendapat beasiswa kuliah di Australia. Diandra tidak punya sahabat sejati seperti Nifa. Dia sangat takut kesepian jika Nifa pergi…
            Aku terusik mendengar perselisihan rumit itu. Diandra tidak mau mengalah. Aku bingung harus bagaimana. Sejak saat itu tawa mereka seolah hilang dari pelataran harmoniku.

Gereja Kayutangan
            Diandra adalah jemaat yang sangat bertakwa dan rajin beribadah di tubuhku. Memanjatkan doa puja-puji syukur pada Sang Kudus. Aku sangat senang tiap kali melihat Diandra datang ke sini, tubuh Sang Kudus. Dia gadis yang tegar dan luar biasa. Sayang, kecelakaan lima tahun yang lalu membuatnya cacat seumur hidup dan terpaksa duduk di kursi roda selama hidupnya. Biasanya dia selalu tersenyum tiap melihat salib dalam tubuhku. Tapi entah kenapa berminggu-minggu ini dia selalu berdoa sambil menangis. Dia tidak ingin egois dengan melarang Nifa kuliah di Australia. Tapi dia juga gadis yang sangat kesepian. Lukisan-lukisan tua di gereja ini turut prihatin. Aku khusyuk berdoa semoga Diandra baik-baik saja.

Masjid Jami’
            Dia selalu punya rahasia. Dia rajin mengunjungiku dan selalu sholat tepat waktu di sini jika dia sedang bermain di alun-alun dengan sahabatnya. Sahabatnya akan menunggu di pelataran masjid, sudah terbiasanya seperti itu. Indahnya toleransi insan bidadari itu. Nifa punya rahasia dan mimpi. Dia mencurahkan segalanya lewat kata hatinya yang dalam. Sebagai tempat ibadah yang suci, aku bisa mendengar segala isi hatinya.
            Nifa ingin mengejar impiannya kuliah di luar negeri. Dia memang kurang beruntung selama ini. Sejak kecil orang tuanya telah meninggal. Dia dibesarkan di panti asuhan. Saat remaja, dia bertemu Diandra yang saat itu sudah cacat dan dititipkan di Panti Asuhan itu. Orang tua Diandra meninggal saat kecelakaan. Karena kasihan, panti asuhan itu menerimanya. Nifa ingin menjadi orang sukses setelah kuliah. Agar dia bisa menyembuhkan kanker payudara yang selalu dia sembunyikan selama ini. Namun penyakit itu semakin ganas hingga membuatnya pingsan saat sedang berdoa siang itu.

Diandra:
Maafkan aku, Nifa! Selama ini kau terlalu memanjakanku dengan persahabatan kita. Sehingga mata hatiku tertutup bahwa seorang yang pantas untuk bahagia adalah kamu. Alun-alun ini akan selalu merindukan tawamu, begitu juga aku. Kenapa kau tak pernah bilang kau punya penyakit kanker? Hingga akhirnya membuat kau pergi untuk selama-lamanya. Tanpa sempat mengecap mimpi indahmu. Kau akan selalu jadi inspirasiku, Nifa. Untuk terus berjuang!

* * *

(Juara 3 Lomba On The Spot Writing Constest oleh FLP Malang tgl. 06 Maret 2011 di Bookfair Skodam Tugu Malang)


dimuat Radar Malang: Minggu, 15 September 2019

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan