Berburu Puncak Buthak


12 Mei 2018

       Kami menunggu Mas Wahyu di kontrakan Bayu. Semalam kami menginap di sini. Kontrakan Bayu punya dua kamar tidur, satu dapur dan kamar mandi. Cukup bersih, nyaman dan murah. Aku segera mandi. Setelah menyeduh tiga kopi, Mas Wahyu datang. Kopi buatanku tidak manis karena hanya satu sendok teh gula saja. Nanda tidak suka jadi aku menambah satu sendok lagi.

        Kami sarapan soto ayam dulu sambil belanja sayuran di gerbang masuk Panderman. Dompetku habis untuk membayar empat makanan setelah semalam menyewa dua kantung tidur dan satu lampu tenda. Kami segera parkir di Pos Jaga di lembah Panderman. Kami memarkir tiga motor sambil memotret peta dan membayar karcis.

         Setelah berdoa, kami berangkat mendaki lewat ladang penduduk. Beberapa kali kami harus mengalah dan berhenti karena motor para petani yang berseliweran di jalanan yang sempit. Banyak debu beterngan jadi harus pakai kacamata dan masker. Kami sering istirahat karena lelah dan haus.
         Jalanan menanjak, kering dan banyak pohon tumbang. Kami jadi harus hati-hati. Pepohonan cemara gunung menjulang. Aku kesulitan cari tempat kencing yang cocok. Aku malu kencing di ruang trrbuka tapi akhirnya aku terbiasa walau harus jalan agak jauh dan sembunyi-sembunyi. Kami makan mi kuah dan sarden untuk makan siang setelah kami masak agak lama. Kaiku sudah mau copot. Notifikasi aplikasi olarhaga di ponselku mengabarkan kakiku sudah berjalan 22680 langkah. Rekor terbanyakku. Banyak ulat bergelantungan sepanjang jalan menanjak dan menurun.

Selepas senja, kami masih belum sampai Padang Sabana. Aku berjalan meninggalkan Mas Wahyu sambil sesekali menikmati matahari terbenam. Aku sengaja jalan paling depan karena aku kebelet kencing. Aku ingin kencing di tempat sepi dan aman karena tentu saja tidak ada semak-semak yang nyaman di lereng menuju Sabana. Sesampai sabana, hawa dingin menerpa. Aku duduk di atas rumput kering sambil menunggu rombonganku tiba. Sepuluh menit kemudian, mereka datang.
Kami mendirikan tenda di dekat sumber mata air. Aku membantu memegang lampu LED untuk penerangan karena sama sekali tidak punya pengalaman bagus dalam mendirikan tenda. Hari menginjak malam saat tenda kami berdiri kokoh. Hawa dingin menerjang dengan membabibuta. Entah berapa suhunya, pasti di bawah 10 derajat celcius. Kami memasak di dalam tenda sambil menahan gigil. Setelah menyeduh kopi dan susu, Nanda memasak oseng sawi putih. Ronal memasak mi instan dan nasi.

Karena lapar, kami melahapnya sampai tandas. Tak ada sinyal telepon apalagi internet. Aku agak kesal karena Bayu tidak mau diajak main uno padahal salah satu alasan terbesarku naik gunung adalah biar bisa merasakan sensasi main uno di ketinggian di atas 2000 meter. Setelah mengelap peralatan makan dengan tisu, kami tidur karena lelah. Tengah malam, aku bangun karena kebelet kencing dan salat isya.

Comments

  1. Jadi temanya adalah kencing di Panderman 😂😂😂😂😂

    ReplyDelete
  2. Hi..hi.. kudu ngguyu aku😆😆😆 tp pengalamannya asyik ya

    ReplyDelete
  3. Tulisanmu kenapa flat gini Bro? Kok kerasa enggak niat ya?

    Biasanya tulisanmu inspirasional mengaduk-aduk ruang pikirku. Wkwkwkw. #soktau

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini aku asal comot dari buku harianku jadi lebih personal dan deskriptif :)

      Delete
  4. aku kok sepaham sama mbak Tika, ya hahah benar mggak mas fahrul

    ReplyDelete
  5. aku kok sepaham sama mbak Tika, ya hahah benar mggak mas fahrul

    ReplyDelete
  6. Happy ending ya mas ceritanya, pada akhirnya bisa buang air di Panderman wkwkwk

    ReplyDelete
  7. Hati2 lho jangan sembarangan kencing di alam terbuka ya mas

    ReplyDelete
  8. Ada apa dengan Uno? Sampai harus main di ketinggian 😅

    ReplyDelete
  9. AKu pengin ke Buthak tapi masih belum keturutan huhu

    ReplyDelete
  10. wkwkwkkw.. jadi ndaki karena pingin merasakan sensasi main uno di ketinggian di atas 2000 meter

    ReplyDelete
  11. ketawa baca komennya ngakak guling-guling...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan