Bertamu dengan Young Adult Literature ke Ma Chung


Oleh: Wawan Eko Yulianto
(Dosen Sastra Inggris – Universitas Ma Chung Malang)

Akhirnya, terwujud juga saya membawa penulis ke kelas yang saya ajar di kampus. Pinginnya sih mahasiswa saya itu diajar penulis betulan yang banyak bukunya telah terbit, sayangnya dosennya mahasiswa saya itu (yaitu saya sendiri) dua tahun terakhir keponthal-ponthal sampai belum bisa menyelesaikan buku yang telah dia rencanakan. Sudahlah, saat ini bukan waktunya berbicara tentang saya. Mari kita bicarakan tentang pengalaman para mahasiswa saya belajar dari penulis betulan.
Penulis yang saya maksudkan di sini adalah Fahrul Khakim, penulis novel, puisi, reportase asal kota Tuban yang telah tinggal di Malang sejak kuliah. Saat ini, sehari-hari Fahrul adalah dosen di jurusan Sejarah di Universitas Negeri. Saat ini Fahrul sudah menerbitkan empat buku prosa dan satu kumpulan puisi. Prosa pertamanya, novel berjudul Cowokku Vegetarimood, terbit pada tahun 2013, ketika Fahrul berusia 22 tahun. Novel terakhirnya, Janji Pelangi (2018), diterbitkan oleh Buana Ilmu Populer, salah satu imprint Gramedia. Kumpulan puisi Fahrul, yaitu Monolog Waktu (2016), diluncurkan oleh penerbit Pelangi Sastra Malang, yang merupakan bagian dari komunitas Pelangi Sastra Malang di mana Fahrul juga merupakan anggota aktif.
Sejak tahun lalu, ketika pertama kalinya mendapat tugas mengajar mata kuliah Populer Literature di Universitas Ma Chung, saya ingin mengajak seorang penulis fiksi populer untuk berbagi pandangannya kepada mahasiswa saya. Bagi saya, pandangan dari sudut pandang penulis (bukan hanya sarjana, peneliti, atau teoretikusnya) sangat penting untuk diketahui oleh mahasiswa secara langsung. Pernah tercetus keinginan saya mengundang Sidik Nugroho, penulis yang lama tinggal di Malang dan beberapa tahun yang lalu menerbitkan trilogi detektif (Tewasnya Gagak Hitam, Neraka di Warung Kopi, dan Ninja dan Utusan Setan).
Sayangnya, meskipun saya yakin Sidik Nugroho sangat tidak keberatan datang ke kelas saya, dia tinggal terlalu jauh dari Malang–dan sekali-kalinya datang ke Malang selalu hanya sebentar. Untungnya, dari Denny Mizhar, koordinator Pelangi Sastra Malang, saya tahu bahwa ada seorang anggota aktif komunitas ini yang menyeriusi penulisan populer, khususnya sastra dewasa awal (Young Adult Literature). Ya Fahrul Khakim inilah yang dimaksud Mas Denny. Setelah menjajaki rekam jejak beliau dan menghadiri bedah buku Janji Pelangi di Kafe Pustaka, saya menjadi semakin yakin bahwa Fahrul ini bisa menjadi orang yang tepat untuk berbagi pengalaman dan pengetahuannya tentang sastra populer dengan mahasiswa saya di kelas Populer Literature ini.
Maka, setelah rundingan jadwal dengan Fahrul yang tentunya sibuk sebagai dosen, akhirnya pada hari Kamis 12 April 2018 kemarin terjadilah kuliah tamu tipis-tipis tersebut. Fahrul tiba di kampus kami tepat ketika para mahasiswa berhamburan keluar dari kelas mereka menjelang pukul 12 siang. Ketika para mahasiswa yang lain berbondong-bondong ke Student Center atau ke luar kampus untuk beli makan siang, ketika para karyawan dan dosen meninggalkan meja kerja mereka untuk menuju tempat makan siang masing-masing, mahasiswa kelas Popular Literature justru berdatangan satu per satu ke Theater Room. Turut hadir di sana Pak Patris, dosen Sastra Inggris yang juga Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (ya, dekan kami blogger)–belakangan juga ikut hadir Pak Adit, dosen Desain Komunikasi Visual yang juga pembaca prosa yang sangat serius. Tepat pada pukul 12 siang acara kami mulai.
Fahrul menceritakan kisahnya mulai dari bagaimana dia pertama kali tertarik menulis hingga akhirnya dia bisa menerbitkan novel di bawah sebuah nasional. Tentu saja perjalanan Fahrul tidak sesederhana kalimat pembuka paragraf ini. Ada cerita tentang bagaimana dia tidak punya TV waktu remaja, sehingga dia sampai suka membaca buku. Dia juga bercerita tentang begitu niatnya dia menulis novel ketika kelas 3 SMA. Dia bahkan menulis novelnya ketika teman-temannya serius belajar menjelas UN. Fahrul mengirimkan tulisannya ke Gramedia dan lama menunggu kabar dari mereka. Dia harus menggunakan wartel yang ketika itu mulai jarang tapi tetap merupakan sarana komunikasi termurah untuk menjangkau Gramedia. Sayangnya, setelah setahun, jawabannya yang didapatkannya adalah penolakan. Kegagalan di awal karir itu biasa. Yang tidak biasa adalah bagaimana Fahrul menyikapi penolakan dengan kesadaran bahwa dia memang “belum punya nama.” Sehingga, agenda dia kemudian adalah membangun namanya.
Usaha Fahrul membangun nama itu dia lakukan dengan menulis untuk media-media kecil dan menulis yang kecil-kecil. Dia menulis untuk majalah sekolah (dan menikmati hasilnya ketika orang-orang membicarakan cerita karangannya di kantin sekolah). Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Malang, dia tetap menulis, dan bahkan tidak hanya menulis prosa. Dia banyak menulis reportase, salah satunya adalah untuk lembar Citizen Reporter di Koran Surya. Terkait ini, perlu saya sebutkan di sini bahwa Fahrul ini pernah menjadi penulis terbaik dalam pertemuan Citizen Reporter di Surabaya.

Yang langsung berkaitan dengan konten mata kuliah yang saya ajar adalah bagaimana Fahrul berhadapan dengan konvensi genre roman populer. Sejak awal Fahrul mengakui bahwa dia sangat menyukai cerpen remaja dan novel remaja (yang biasa kita sebut teenlit itu) dan ingin menjadi penulis di genre tersebut.
Dia tahu pasti bahwa sebagian besar pembaca genre ini adalah perempuan. Untuk itu, dalam menulis cerita, dia mengangkat sosok-sosok perempuan sebagai tokoh utamanya. Ketika mahasiswa saya yang bernama Lindi bertanya kepadanya bagaimana bisa dia menulis karakter perempuan padahal dia laki-laki, Fahrul mengatakan bahwa dia banyak belajar tentang perempuan dari membaca novel yang banyak karakternya adalah perempuan. Dia juga memberikan manuskripnya kepada kawan perempuan yang dia percaya, untuk memastikan bahwa karakternya masuk akal sebagai seorang karakter perempuan.
Ketika Aldy, mahasiswa yang lain, bertanya mengapa judul-judulnya agak sulit dipahami atau tidak langsung bisa dipahami maksudnya, Fahrul memberikan jawaban yang jelas. Judul-judul itu dibuat dengan berbagai pertimbangan, tapi terutama adalah pertimbangan pemasaran. Dengan menyadari bahwa mayoritas pembacanya adalah perempuan, penerbit membuatkan judul yang kira-kira menarik bagi pembaca perempuan: misalnya judul Cowokku Vegetarimood. Bahkan, ada satu hal yang mengejutkan (bagi saya, setidaknya): bahwa judul bukanlah sesuatu yang sangat penting bagi dia. Judul adalah sesuatu yang tidak sebegitu besarnya hingga sampai menganggunya. Yang penting adalah isinya, “Toh penerbit biasanya menentukan akan menerbitkan sebuah manuskrip atau tidak berdasarkan isinya, bukan judulnya.” Jadi, ketika penerbit menyarankan judul lain yang mungkin lebih berdaya jual, Fahrul tidak menunjukkan keberatan.
Selain dua hal itu, ada satu lagi poin yang menurut saya menarik dari kuliah tamu Fahrul ini, yaitu ketika Yemima, mahasiswa lain di kelas saya, mengutarakan bahwa dia dulu sangat gemar membaca novel populer, tapi belakangan agak terganggu karena dia merasa bisa menebak jalan ceritanya. Dia bertanya bagaimana Fahrul membuat pembaca tetap tertarik dan tidak segera merasa bosan. Tentang ini, Fahrul menjawab bahwa dia selalu mengupayakan memberikan hal-hal baru kepada pembaca. Dia berusaha sebisa mungkin membuat karakter yang tidak biasa, misalnya seorang laki-laki yang sangat gemar memasak hingga tingkat keseriusan yang tinggi. Di karya lain, dia menyodorkan seorang karakter perempuan pengidap “agoraphobia,” yaitu ketakutan keluar rumah. Dan lain-lain. Di sini juga Fahrul menyatakan kekagumannya kepada Dee yang selalu mengandalkan riset serius untuk mengembangkan isi novelnya sehingga yang dihadirkan bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Nah, di bagian ini juga saya mendapati satu yang membuat Fahrul terdengar seperti lulusan tulen dari universitas yang dulu bernama “Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang,” yaitu ketika dia sebisa mungkin ingin menyelipkan muatan yang membangun karakter dalam karya-karyanya. Tapi, tentu saja, untuk yang terakhir ini, kita mesti membaca dan menelaah apakah Fahrul berhasil menyelipkan elemen-elemen ini tanpa harus terdengar sebagai seorang guru atau pemuka agama.
Jadi begitulah kira-kira laporan saya dari kuliah umum tipis-tipis yang saya adalah di kelas saya sendiri. Anggap reportase ini sebagai balas budi saya kepada Fahrul. Biasanya, ketika menghadiri acara-acara bedah buku dan sejenisnya, Fahrul membuat reportase. Dan sekarang, ketika dia jadi pembicara, sulit rasanya membayangkan Fahrul menulis reportase itu. Jadi ya, biarlah tulisan ini menjadi balasan bagi Fahrul. Oh ya, sekadar informasi, sebenarnya dari Fahrul Khakim pula saya belajar menulis reportase untuk dikirimkan ke Citizen Reporter. Kalau Anda seorang blogger, pasti tahu sulitnya menulis langsung fokus ke topik tulisan dan tidak berbicara tentang diri Anda sendiri. Dari Fahrul lah saya belajar untuk melenyapkan diri sendiri dan berfokus ke topik saat menulis reportase. Eh, tapi kayaknya reportase saya kali ini juga sudah tercemari–saya mulai ngomong tentang diri sendiri lagi. Haiyyah!
Terima kasih, Mas Fahrul!

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan