Saat Dongeng Terjebak dalam Kota

Oleh: Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim, S.Pd., M.Pd
(Dosen Sejarah, Universitas Negeri Malang)

            Setiap kota punya dongeng yang menarik untuk diceritakan. Tapi yang lebih menarik lagi dongeng tentang manusia-manusia dalam kota itu sendiri. Bincang Buku ‘Dongeng Pendek tentang Kota-kota dalam Kepala’ karya Mashdar Zainal. Acara Kudap Buku ini kegiatan rutin Pelangi Sastra Malang yang diadakan di Kafe Pustaka pada Sabtu, 14 Oktober 2017.
            Mashdar Zainal, baru saja menelurkan buku kumpulan cerpen kedua yang berjudul ‘Dongeng Pendek tentang Kota-kota dalam Kepala’ yang berisi dua puluh cerpen yang telah dimuat di berbagai media massa. Hanya satu cerita yang tidak diterbitkan media massa. Isi kumpulan cerpen ini lebih kompleks dan mengutamakan pada cerita yang lebih universal mengenai kegelisahan manusia-manusia bercengkrama dengan kota. Setiap cerpen punya riwayat dan proses kreatif yang panjang dan unik.

            Buku ini dibedah oleh Prof. Djoko Saryono, Sastrawan dan Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, dan Tia Setiadi, kurator penerbit Diva Press. Kalimat dalam buku ini puitis tapi tidak berlebihan sehingga enak dibaca siapa saja. Gaya Mashdar bercerita itu seperti dongeng, Struktur luar dari cerpen-cerpen Mashdar itu dongeng tapi struktur dalam itu menggunakan zaman pasca kebenaran. Mashdar mengambil jalur imajinasi untuk memamparkan zaman pasca kebenaran. Pola-pola kejadian dalam cerpen Mashdar itu mirip dengan dongeng. Mashdar seringkali menggunakan simbolisasi manusia dengan hewan dan boneka.
            Cerita pendek dalam buku dikurasi dari cerpen-cerpen Mashdar yang telah dimuat di berbagai media massa nasional sejak 2010 sampai 2016. Perjuangan Mashdar dalam memublikasikan karyanya ini dengan gigih perlu diteladani oleh penulis lainya. Mashdar ingin menunjukkan sisi lain manusia perkotaan yang sering kesepian karena keasyikan teknologi dan suburnya individualisme. Pada dasarnya setiap manusia baik di kota mau pun di desa tetaplah makhluk sosial. Buku ini seolah menyindir sekaligus merayakan kegelisahan manusia urban dan metropolitan dalam berjuang hidup sambil merawat harapan untuk esok lebih baik.


dimuat koran Surya: Rabu, 25 Oktober 2017

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan