Gejolak Jiwa di Balik Novel ‘Gidher’

Oleh: Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim
(Dosen Sejarah, Universitas Negeri Malang)


            Sore yang cerah itu, Arung Wardana Elhafifie sudah datang ke kampsu Universitas Negeri Malang dari Bangkalanga. Arung mengendarai motor sendiri dari Bangkalan setelah mampir Singosari. Arung adalah pekerja seni dan penulis yang produktif, serta terpilih sebagai penulis wakil Indonesia dari delapan ratus pendaftar dalam ajang Interntional Ubud Festival Writers & Readers 2016 di Bali.
            Saat ini Arung menimba ilmu teater di sebuah sekolah tinggi seni swasta di Surabaya setelah drop out sebagai Mahasisa Psikologi. Hidup Arung memang penuh dengan drama dan pertanyaan yang tak terjawab. Arung berusaha menemukan jawabnnya dengan berkarya melalui teater dan sastra. Salah satunya lewat menulis, Arung sudah menulis empat novel. Dalam dunia teater, pemilik nama asli Hoirul Hafifi juga telah menulis drama dan monolog serta mementaskannya ke berbagai kota di Indonesia.
            Novel Gidher (bahasa Madura) artinya setengah gila. Arung melihat semua orang di sekitarnya setengah gila. Orang-orang itu memaksa orang lain melakukan hal benar tetapi pada saat yang sama, mereka juga melakukan keburukan dengan sukarela.
            Seorang lelaki jadi gila karena cintanya dikhianati seorang perempuan yang berprofesi sebagai penari tradisional Madura. Perempuan ini lebih memilih lelaki lain yang kaya dan berstatus sosial tinggi padahal pacarnya sudah mengorbankan apa saja untuk bisa menikahninya. Lelaki korban asmara itu meracau dan mengutuk siapa saja karena sudah kehilangan harapan pada dunia.

            Karya-karya Arung lebih banyak mengangkat permasalah etnografi di Madura. Diskusi novel Gidher di UKM Penulis UM berlangsung hangat dan seru kemarin, Sabtu, 8 Juli 2017. Belasan peserta diskusi asyik menyimak dan bertanya langsung mengenai karya terbaru Arung.
Diskusi dan bedah novel Gidher sudah berlangsung di berbagai kota di Jawa Timur mulai dari Bangkalan, Jember, Jombang, dan Surabaya. Arung berharap novelnya bisa membuka mata orang Madura, khususnya perempuan Bangkalan, agar bisa lebih mandiri lewat pendidikan yang lebih baik. Semoga Arung selalu produktif dalam berkarya.


dimuat koran Surya: Senin, 17 Juli 2017

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan