Sepotong Rindu yang Membius

Judul : Sepotong Rindu dari Langit Pleiades
Penulis : Royyan Julian
Penerbit : LeutikaPrio
Tahun Terbit : Agustus 2011
Tebal : iv + 89 halaman
Peresensi : M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim
Keasyikan baca sampai mulutnya ditutup XD


Kadang terdapat hal di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan secara rasional. Manusia-manusia mencari jawaban itu sepanjang umurnya tapi ternyata jawaban itu sebenarnya sudah ada di depannya sejak lama. Hanya saja jawaban itu terlewatkan. Mungkin kutipan di atas sudah sering diperbincangkan dan terasa klise.
Namun bagaimana jika manusia itu bukan berasal dari dunia ini? Apakah jawaban tersebut juga akan dia temukan di bumi? Apakah keajaiban itu ada? Temukan jawabannya dalam “Sepotong Rindu dari Langit Pleiades”. Sederhana namun menjerat. Cerpen ini mampu menyibak tabir kelam batin seorang anak manusia yang terjebak rindu pada dunia yang asing, bumi yang berada dalam galaksi lain. Dia harus bertahan di tengah gunjingan orang sekitarnya dan kewarasan logikanya. Cerpen pembuka dalam buku salah satu pemenang Lomba Kumcerku di LeutikaPrio tahun 2011 ini adalah kisah yang magis namun kreatif dan ilmiah serta sanggup menyambut imaji pembaca dengan tendangan yang manis.
Buku ini berisi sebelas cerpen yang ditulis oleh Royyan Julian, mahasiswa UM Jurusan Sastra Indonesia yang dikenal sebagai penulis yang produktif. Dalam cerpen berikutnya, “Sihir Mahluk Bertubuh Cahaya”, penulis bermain dengan gaya penceritaan realisme magis yang mengalir dan lembut. Alur yang ringan serta bahasa yang literer semakin memperkuat cerita tentang anak-anak desa yang mulai tergoda teknologi masa kini. Sehingga mereka menghubungkan teknologi itu dengan cerita-cerita sufistik yang mereka peroleh saat mengaji.
Gejolak batin tokoh dan narasi yang terkesan gelap namun memukau juga ditampilkan dengan gemilang pada cerpen “Nafsu Merah Bulan Pucat Menjelang Sepengalah Hari”. Bertutur mengenai psikis seorang bocah pesisir pada keluarganya yang mulai kacau, penyebab utamanya adalah sang kakak yang berubah dan terjerumus dalam pergaulan yang salah. Dalam “Lelaki Tua yang Berkarib dengan Taman”, pembaca akan disuguhi pencarian Tuhan yang tiada henti oleh seorang lelaki tua. Dia merasa telah mengkhianati Tuhannya yang lama karena pindah ke agama yang baru. Tuhan yang dipuja oleh nenek moyang dan rasnya. Tekanan batin yang begitu mencekam membuat lelaki tua itu bertindak tragis.
Permainan rima yang menggugah imaji dan penokohan yang berwarna tergambar dengan mozaik narasi yang filosofis terbias menakjubkan pada cerpen “Kita yang Tak Bernama”, “Seribu Bangau Kertas”, “Sumpah di Rambut Anakku”, dan “Hikayat Manusia Langit”. Cerpen-cerpen tersebut menggunakan komposisi bahasa yang mirip prosa dan amat puitis. Sangat memanjakan imaji pembaca karena dibangun dengan bahasa yang runtut dan jitu sehingga mudah dipahami. Kesan universal tentang perbedaan agama dalam cerpen “Kita yang Tak Bernama” ini seolah menggelitik pola pikir masyarakat pada umumnya yang masih terbelenggu pada rasa empati dan toleransi yang rendah. Cerpen ini berkisah tentang sepasang sahabat yang saling mencintai, tapi tak mengerti nama yang tepat untuk perasaan yang mereka miliki selama ini hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah sebagai pilihan yang diinginkan semua orang bertuhan di dunia. Berikut kutipan yang istimewa dalam cerpen ini: Berbicara tentang Tuhan saja kita berbeda persepsi tentang-Nya. Tapi kita justru menyatu dalam hal-hal yang tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Barangkali kutipan ini bisa mewakili isi hati orang yang memiliki kisah yang mirip cerpen ini.
Pesan yang terangkum dalam kumpulan cerpen ini sangat luas namun dikemas dengan kisah yang membius, disampaikan dengan bingkai penuturan yang mengena sehingga timbul kesan egaliter antara penulis dan pembaca. Pergulatan batin yang tersemat dalam kisah grup paduan suara dan gurunya memiliki makna sosial yang begitu dalam dan tak terduga. Selama ini manusia terbuai dengan suara-suara yang indah dan menghibur sehingga membuat manusia lupa pada suara lain yang lebih patut didengarkan penderitaannya. Kisah ini termaktub dalam cerpen “Nada-nada yang Dibungkam”. Makna kehidupan yang istimewa juga terlukis dalam cerpen “Lelaki Kurus dan Para Anjing”. Selain itu, terdapat juga sastra fantasi yang diracik dengan penokohan yang khas sehingga menawarkan alternatif dunia baru dalam khazanah imaji pembaca yang berjudul “Penunggang Naga Tanah”.
Kumpulan cerpen ini mampu memberi kesejukan baru dalam penulisan sastra yang kreatif dan inspiratif sehingga tidak membuat pembaca jemu. Malah sebaliknya, pembaca diajak menggali sosok kehidupan yang dalam, mengejutkan, namun memesona. Alur yang cepat dan pemakaian istilah-istilah yang cukup asing mungkin akan membuat pembaca sedikit terganggu. Namun hal tersebut tidak mengurangi kecantikan harmoni cerita manusia yang terus berjalan demi mencari arti kehidupan yang sebenarnya. Selamat terbuai dalam kisahnya!

(Resensi ini dimuat majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang Edisi no. 33 276 September - Oktober 2011)

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Janji Pelangi, Persahabatan Menyembukan Trauma

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan