Puisi Prety
Oleh: Fahrul Khakim
Lovely
Bimo,
Kan Kupatahkan panah cinta lain yang ingin bersemayam di
hatimu
Ku curahkan segala nyanyian dewi cinta untukmu
Bagai akasia yang merinai rindu dan kasihmu
Gemericis nada-nada asmara berkesiur hanya padamu
“Ceilleee…,
puisi lagi nih!” ledek Sika, lalu duduk di samping Prety. “Anak IPA kok jagonya
bikin puisi sih,” lanjutnya, menyindir. Prety sudah mengamankan puisinya ke
dalam tas.
“Suka-suka
dong,” jawab Prety pendek. “Puisi buat siapa sih?” tanya Sika.
“Mau
tahu aja!” Prety memalingkan wajah ke arah pintu masuk kelas
Bimo, pujaan hatinya sekaligus ketua kelasnya,
baru saja masuk kelas dengan gagah. Wah, ini dia sumber inspirasi dalam
puisinya selama ini. Bimo menoleh ke
arah Prety, tiba-tiba. Kemudian dia tersenyum. OMG! Wajah Prety seketika
berwarna-warni bagai lampu disko karena malu dan senang. Dia menunduk lalu tersenyum
bahagia. Bimo berniat menyapanya, namun
bel tanda waktu istirahat berakhir mendadak berbunyi.
“Prety,
itu tadi puisi buat tugas bahasa Indonesia, ya?” tanya Sika, teman semejanya.
“Bukan,
puisi yang buat tugas bahasa Indo kan udah aku ketik rapi. Udah aku print kok,”
“Cepet
ambil gih, Pak Mansyur sudah berkoar-koar nyuruh ngumpulin tugas puisinya tuh.”
saran Sika. Prety mengobrak-abrik isi tasnya dengan bingung. Map berisi puisi
tugas bahasa Indonesia hari itu kayaknya ketinggalan di rumah. DUH! Hati Prety
bergejolak panik.
“Anak-anak,
puisi harap segera dikumpulkan ke depan, kalau tidak sekarang maka tidak akan
mendapat nilai tugas,” Pak Mansyur berkoar-koar lagi. Prety bingung setengah
mati. Dia segera mengambil binder berisi kumpulan puisinya. Dia dulu sempat
menulis puisi, tapi bukan puisi tentang Bimo dan cinta. Dengan buru-buru, Prety
segera mengambil salah satu puisi yang dia yakini bukan puisi tentang Bimo.
Semua
puisi sudah terkumpul di meja Pak Mansyur. “Sekarang bapak akan menunjuk secara
acak seseorang untuk membaca salah satu puisi ini di depan kelas.” kata beliau.
“Bimo,” panggil Pak Mansyur. Bimo maju ke depan dan mengambil sebuah puisi yang
diangsurkan Pak Mansyur.
“Pahlawan sejatiku,” Bimo membacakan judul. Eh, kayaknya Prety kenal
judul itu.
“Kau menunggang kuda dengan gagah perkasa,
sayangku,” prolog puisi dibaca Bimo dengan gamang. “Lebih ekspresif.” pinta
Pak Mansyur. Bimo mengangguk gugup.
“Tatapan matamu setajam pedang di medan
perang, oh, langit hatiku.” Kali ini Bimo lebih puitis. Kalimat itu pernah
Prety baca. Waduh, jangan-jangan…
“Sanubariku telah lama berlayar dan
pelabuhanmu begitu menggodaku,” karena tuntutan dan lototan mata dari Pak
Mansyur, Bimo menjadi lebih puitis.
“Aku jatuh cinta, berulang-ulang jatuh cinta.
Bahkan aku bersedia mengucapkannya di depan kumis garang Pak Mansyur.” Deklamasi
puisi Bimo membuat Pak Mansur dan murid-murid kaget, bahkan ada yang tertawa
geli.
Mati aku. Aku pasti salah ambil puisi.
Waduh, duh, duh! Gimana nih? Prety gelisah dan panik sekali. Dia ingin keluar
dari ruangan ini sekarang atau kalau bisa menghilang sekalian.
“Lanjutkan,” Pak
Mansyur memerintah.
“Bimo, aku jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta
secinta-cintanya, kepada… mu, sa… yang.. ku,” Wajah Bimo malu banget sampai
semerah tomat saat membaca bait terakhir puisi itu.
“Siapa penulisnya?”
tanya Pak Mansyur.
“Prety
Kusuma Wulan.” jawab Bimo dengan gugup, lalu menatap Prety. Semua mata tertuju
pada Prety. Tidaaaaak! Prety ingin
pingsan sekarang.
“Prety, maju ke depan.
Baca puisimu ini untuk Bimo dengan sangat dramatis dan puitis. Sekarang juga,”
perintah Pak Mansyur, tegas.
Waduh sewaduh-waduhnya!
Ini mimpi buruk bagi Prety. Dia akan jadi bahan ketawaan. Dia berjalan ke arah
Bimo yang memandangnya malu-malu. Tapi Pak Mansyur juga melotot garang
kepadanya. Tak ada pilihan lain bagi Prety.
Terdengar samar-samar
teman-temannya mengikik geli, terutama Sika. Ih, malunya…
Dengan menahan malu,
Prety membaca puisinya di depan kelas.
* * *
dimuat Majalah Gadis 15 edisi Liburan 1:
31 Mei – 9 Juni 2011
Comments
Post a Comment