Sisi Eksotik Bumi Ngrowo
Oleh: M. Nur
Fahrul Lukmanul Khakim*
Pantai Pasir Hitam Sine. Lumayan tenang untuk merenung. |
Liburan
sambil menambah wawasan? Kenapa tidak? Justru kita akan mendapatkan dua hal
sekaligus: rekreasi dan edukasi yang menyenangkan. Itulah yang biasa saya
lakukan saat liburan semester tiba. Ketika berlibur ke Kadipaten Ngrowo (nama
kuno Kabupaten Tulungagung), saya mengunjungi situs-situs peninggalan Kerajaan
Majapahit dan wisata alam lain yang ternyata menawarkan sisi-sisi yang cantik dan
menarik untuk dieksplorasi.
Nuansa eksotik perpaduan air tawar dan asin di muara Pantai Sine |
Petualang
saya bermula di Pantai Sine, sebuah kampung nelayan yang terletak di Kecamatan
Kalidawir dan berjarak 25 kilometer dari pusat kota. Pantai ini memang tidak begitu terkenal seperti Pantai Popoh, namun pantai ini
masih terlihat asri dan tenang. Cocok untuk berpiknik atau berkemah karena
tersedia hamparan pasir yang cukup luas serta terdapat hilir sungai yang
menawarkan air tawar yang jernih. Tempat pertemuan antara air sungai dan air
laut menciptakan panorama yang menawan yang berhadapan dengan tebing kapur yang cukup tinggi dan teduh.
Hembusan angin pantai ini terasa sejuk sehingga membuat pengunjungnya betah berlama-lama
menikmati keindahan pantai.
Candi Mirigambar. Sayang, kurang perawatan. |
Perjalanan
saya berlanjut ke Candi Mirigambar yang terletak di Desa Mirigambar. Candi ini peninggalan Kerajaan Majapahit dan dibangun menggunakan bahan batu bata. Walau bagian yang masih dapat dijumpai
sampai kini, hanya kaki dan batur candi, namun relief dan pantheon garuda masih
terlihat cukup baik pada sisi candi. Di bagian terpisah dari candi ini ditemukan
beberapa umpak, hal ini menunjukkan bahwa di sekitar candi tersebut juga
didirikan bangunan yang bertiang kayu karena umpak berfungsi sebagai dasar
tiang penyangga suatu bangunan yang berbahan kayu. Kondisi candi ini sebenarnya
masih baik namun pada beberapa sudut kaki candi ambles ke tanah sehingga
membuat struktur candi tidak lagi rata. Bahkan beberapa bagian di sisi batur
seperti hendak runtuh sehingga tidak memungkinkan lagi untuk berjalan di atas candi
ini. Terlebih lagi struktur batu bata merah yang terkesan mudah lapuk dan
rapuh. Di sekitar candi juga
ditemukan bagian bangunan menyatakan inskripsi angka tahun 1310 Saka atau 1388
M. Jadi dapat diketahui bahwa candi ini dibangun pada masa akhir pemerintahan
Raja Hayam Wuruk.
Salah satu pahatan di situs Goa Pasir: Mirip Garudea |
Situs
Gua Pasir adalah kunjungan saya berikutnya. Saya sempat mengira situs ini
berada di kawasan yang di kelilingi pasir, namun nyatanya tidak. Situs ini terletak
di perbukitan kapur yang ditumbuhi pohon jati yang rindang. Di sepanjang kaki
bukit, saya menemui banyak sekali arca, relief, dan undakan yang dipahat di
batu-batu kapur yang besar. Terdapat sebuah relief garuda yang besar dipahat di
sebuah batu. Saya berpendapat dulu di atas batu tersebut pasti terdapat arca
dewa wisnu karena wahana (kendaraan) dewa itu adalah garuda.
Situs
ini dahulu adalah tempat pertapaan para pembesar majapahit sehingga tak
mengherankan jika ditemukan banyak arca dan terkesan dibangun dengan megah. Terdapat
arca kala memegang gada besar dekat jalan utama. Kala diyakini sebagai pengusir
roh atau hal-hal yang buruk dan jahat. Terdapat berbagai undakan yang pada batu
kapur yang pada bagian teratasnya diperhalus, bisa diperkirakan sebagai alas
tempat arca-arca. Namun semua undakan tersebut kosong, mungkin semua arca telah
hilang atau dipindah ke tempat lain.
Pemandangan dari situ pertapaan Gua Pasir. Pedesaan yang masih asri, dahulu itu semua rawa. |
Daya
tarik utama dari situs ini adalah sebuah gua pertapaan yang terletak di atas bukit.
Untuk sampai ke sana, maka harus melewati kaki bukit yang terjal. Sepanjang
jalan menuju gua pertapaan terdapat beberapa arca lain, salah satunya adalah
ukiran kura-kura pada undakan kaki bukit yang cukup besar. Kura-kura dalam kehidupan masyarakat masa Megalithik (Batu
Besar) dipercaya sebagai hewan yang memiliki usia panjang.
Kura-kura ini juga
melambangkan
cerita pengadukan samudera mantana untuk mencari amerta (air kehidupan) dalam konsep
agama Hindu.
Ukiran di pertapaan Goa Pasir. |
Medan
untuk mencapai gua pertapaan sangat sulit dan berbahaya karena hanya
mengandalkan batu kapur sebagai pijakan, tidak ada infrastruktur yang memadai
untuk sampai ke gua tersebut. Gua pertapaan tersebut adalah gua buatan yang
dipahat di sisi bukit dan menghadap langsung ke arah utara. Dari gua tersebut,
terhampar pemandangan desa serta areal ladang yang hijau dan menawan. Di cekungan
gua itu, juga terdapat relief yang sangat indah.
Medan yang terjal menuju Pertapaan Goa Pasir. Sepanjang jalan, banyak berserakan reruntuhan arca dan relief |
Keesokan
harinya, sinar mentari yang cerah masih setia mengiringi perjalanan saya menuju
Museum Daerah Tulungagung. Suasana museum pagi itu masih sepi pengunjung.
Bangunan museum tidak begitu luas dan sederhana. Ketika memasuki museum, tampak
museum ini hanya memiliki satu ruangan utama yang berbagai sudutnya disesaki
oleh artefak-artefak sejarah. Bahkan karena kapasitas bangunan yang tidak
mencukupi, beberapa peninggalan kuno lain seperti prasasti ditempatkan di luar
museum. Saya sempat khawatir prasasti tersebut akan semakin rusak karena cuaca
yang buruk. Sebagian besar prasasti tersebut tampak sulit dibaca lagi karena
pahatannya sudah aus atau bahkan rata.
Koleksi Museum Daerah Tulungagung. Kebanyakan berasal dari era Kerajaan Majapahit |
Candi
Sangrahan yang terletak di Desa Sanggrahan menjadi tujuan wisata saya
berikutnya. Candi ini berada sekitar 2 meter di atas permukaan tanah dengan
pondasi batu bata yang mengelilingi komplek candi dan berbentuk persegi. Candi
ini sengaja dibangun lebih tinggi karena desa tersebut dahulu rawan banjir. Komplek
candi ini terdiri dari 1 bangunan utama yang berbahan batu dan 2 bangunan kecil
berbahan batu bata. Sampai sekarang, bangunan yang masih berdiri megah adalah
bangunan utama yang menghadap ke barat. Sedangkan dua candi kecil lainnya hanya
menyisakan reruntuhan batu bata. Pada candi utama ini terdapat beberapa ukiran
kecil berupa relief binatang singa
dan sebenarnya dahulu ada empat arca budha dengan sikap mudra yang berbeda.
Kini empat arca tersebut sudah dipindah ke rumah sang juru kunci atau juru pelihara demi keamanan dari
tindak pengerusakan dan pencurian.
Candi Pesanggrahan. Tempatnya lebih tinggi dari tanah sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa dulu daerah ini memang sering banjir sebab rawa-rawa |
Candi Dadi menjadi penghujung
wisata saya di Tulungagung. Situs ini terletak jauh dari jalan raya karena
berada pada bukit kapur yang sangat tinggi, sekitar 360 meter di atas permukaan
air laut. Jadi untuk menuju ke candi tersebut, saya harus berjalan dan mendaki
kaki bukit yang sangat jauh dan melelahkan. Saya sangat menyarankan untuk
membawa air minum dan makanan secukupnya untuk mencapai situs ini agar tidak
kehabisan energi, ditambah hawa di bukit kapur yang panas. Butuh berjalan kaki sekitar
40 menit untuk sampai di situs ini.
Jalan setapak menuju Candi Dadi. Cukup menguras energi tapi pemandangannya bagus kok. |
Candi
Dadi dikelilingi oleh pepohonan yang cukup rindang dan letaknya benar-benar di
atas bukit kapur yang tinggi. Situs
ini sebenarnya bukan sebuah candi, namun menurut bentuknya dapat diidentifikasi
sebagai Stupa. Jadi situs ini memiliki latar belakang agama Budha. Candi
berbahan batu andesit ini tidak memiliki kemuncak dan tangga untuk mencapai
bagian atas candi. Bahkan candi ini terkesan polos tanpa ukiran dan arca-arca
pendukungnya.
Candi Dadi. Konon, candi ini tak pernah selesai dibangun. |
Dari
kawasan Candi Dadi, pengunjung akan
dimanjakan dengan memandangan alam yang luar biasa indah. Bukit-bukit kapur
yang ditumpuhi pepohonan serta hamparan pedesaan yang masih asri. Pemandangan
ini akan turut menyertai mata pengunjung ketika berjalan menuruni bukit candi
sehingga tanpa terasa perjalanan berlalu lebih cepat dari sebelumnya.
Pemandangan cantik dari halaman Candi Dadi. |
Dari
keseluruhan perjalanan wisata saya ke
Tulungagung, saya melihat betapa besar potensi wisata di daerah
tersebut. Saya masih berharap potensi wisata sejarah seperti candi dan museum dirawat
serta dijaga dengan seksama warisan budaya bangsa itu tetap lestari.
Comments
Post a Comment