Cuplikan Novel 'Dandelion Lover' karya Fahrul Khakim
Diraz terhenyak kaget. Dia segera
menghapus air matanya lalu menghindari tatapan Eva yang menyodorkan tisu
untuknya.
“Ini tisunya, Diraz.” Eva memaksa. Diraz
menerima tisu itu dengan engan. Bukan sekali ini Eva memergoki Diraz menangis.
Cowok berkursi roda itu teramat terpukul sejak papa wafat. Dia sering
menyalahkan dirinya sendiri.
“Kau harus pura-pura mati,Va. Seharusnya
kau tak melihatku seperti ini lagi. Aku malu menangis dan lagi-lagi ketahuan
olehmu,” sesal Diraz.
“Menangis atau mengekspresikan emosi itu
sah-sah aja kok. Cuma kamu harus mengendalikannya, Dir. Aku mengerti perasaanmu. Tapi menyesal
dan menyalahkan dirimu sendiri terus-menerus hanya akan menyakitimu.” Eva menasehati.
Diraz tertunduk sedih.
“Come
on, dimana Diraz yang dulu kukenal supel dan ceria?” Eva berkelakar. “Kalau
kamu butuh teman bicara, ada aku di sini. Kita sudah berteman sejak kecil.
Bahkan aku tinggal bersamamu sudah sejak sangat lama. Kamu nggak sendiri, Dir.”
Diraz mengangkat wajahnya. “Ini tak
semudah yang kau pikirkan, Va.”
Eva terdiam dan menatapnya dengan iba.
“Bicaralah, setidaknya itu akan membuat bebanmu lebih ringan. Aku akan selalu
berusaha membantumu untuk bahagia, Dir.”
“Maafkan aku, Eva. Aku akan berusaha
untuk segera bangkit.”
“Bagus. Walau aku sudah mendengarnya
ratusan kali.”
Eva tersenyum garing. “Makan malam sudah siap. Kamu mau makan malam di kamar
atau di ruang makan?”
Diraz tersenyum tipis. Seperti biasa,
tiap menjelang makan malam, Eva akan bertandang ke kamarnya untuk menanyai
keinginannya makan malam seperti apa. Biasanya itu atas inisiatif Bi Lilis atau bahkan Eva sendiri. Diraz
bersyukur sejak kecil Bi Lilis dan Pak Nurdin setia membantu pekerjaan di
rumahnya. Almarhum orang tua Diraz sangat sayang pada mereka, bahkan
mengizinkan Eva tinggal di rumah mereka dan disekolahkan. Mama Diraz wafat karena sakit saat mereka SD.
Meninggalnya Papa Diraz adalah kenangan penuh penyesalan dalam hidup Diraz. Eva
sendiri ngeri mengingatnya.
“Aku mau makan malam di ruang makan
saja, bareng kalian. Tapi kamu harus dihukum dulu karena masuk kamarku tanpa
ketuk pintu. Hukumannya pura-pura mati.”
“Oke. Berapa menit?” Eva sudah hapal
tabiat Diraz.
“Lima menit.”
“Lama banget. Makanannya keburu dingin”
“Buruan kalau gitu, biar hukumannya
cepat selesai.”
Eva mendengus sebal lalu duduk di sofa
kamar Diraz. Pura-pura mati berarti Eva dilarang bergerak, memejamkan mata,
bahkan bernapas pun tidak boleh keras-keras. Harus semirip mungkin dengan orang
mati. Jika masih belum mirip, maka waktu hukuman diperpanjang sampai
benar-benar mirip. Permainan ini sering mereka mainkan sejak SMP dulu.
Diraz mengambil kuas dan cat air hitam
yang ada di mejanya. Dia tahu Eva pasti akan tertidur karena cewek itu sangat
mudah mengantuk. Ternyata benar. Baru semenit berlalu, Eva sudah tertidur.
Diraz terkikik geli dengan rencana jailnya. Dia memajukan kursi rodanya sampai
mendekati Eva lalu menorehkan kuas ke pipi Eva. Setelah itu, dia menyimpan kuas
dan catnya ke laci meja.
“Va, bangun!” Diraz menepuk-nepuk lengan
Eva.
Eva menggeliat lalu melepaskan kaca
matanya. Matanya mengerjap-ngerjap sebentar. Dia baru sadar ternyata dia
ketiduran. “Maaf, aku capek banget. Tugas sekolah hari ini banyak. Udah berapa
lama aku tertidur?” tanya Eva.
“Sebentar kok. Yuk, kita makan. Lapar
nih.” ajak Diraz.
“Oke.” Eva lalu mendorong kursi roda
Diraz menuju ke ruang makan di dekat dapur.
Diraz tersenyum menahan tawa.
Bi Lilis terbelalak kaget melihat wajah
Eva yang belang-belang.
“Eva, kamu salah pakai bedak ya?” Bi
Lilis, ibunya bertanya.
Eva tercenung heran. “Bedak? Aku nggak
pakai apa-apa kok.”
“Terus kenapa mukamu jadi belang-belang
gitu?” Bi Lilis bertanya, semakin heran.
“Belang?” Eva semakin tak mengerti.
Pak Nurdin yang baru saja masuk daput
terperanjat melihat wajah Eva yang seperti peranakan Siluman Zebra.
“Eva, mukamu kenapa? Cepat lihat ke
cermin, gih!” pinta Pak Nurdin, ayah
Eva, dengan cemas.
Buru-buru Eva meninggalkan Diraz dan
berlari ke kamar mandi.
“Aaaarrrrgghhh! Mukaku.” pekik Eva dari
kamar mandi, kalang kabut. “Diraaaazzzz! Dasar rese!” teriaknya, kesal.
“Hahahaha. Peace deh! Satu kosong.” tawa Diraz pecah. Dia menatap Pak Nurdin
dan Bi Lilis yang tampak bingung. “Ini cuma permainan kok. Hahaha.” jelasnya.
Pak Nurdin dan Bi Lilis mengerti tabiat
Diraz dan Eva yang sudah sangat akrab itu. Kini mereka ikut tertawa.
Di kamar mandi, Eva selesai membersihkan
wajahnya. Dia sudah tahu Diraz mengerjainya. Dia sengaja membiarkan Diraz
melakukannya. Dia bersyukur Diraz
kembali tertawa dan sedikit melupakan kesedihanannya.
#^*^#
Lima
jam sebelumnya…..
Jalan Bandung, Malang, 4 Km dari Rumah
May dan Oriz di Jalan Gatot Subroto,
“Maaf, Pak, saya telat karena tadi saya harus
mengerjakan PR dulu.” Jeni berkata penuh hormat sambil menunduk. Poni rambutnya
menggantung cantik.
“Lain kali jika kamu telat, saya akan
langsung pulang saja. Apalagi ini adalah hari pertamamu latihan. Jika kamu
ingin berhasil, kamu harus pandai mengatur waktu.” tegur Pak Regar, pelatih
vokal supranonya. “Ingat, harus disiplin. Ayo, kita latihan.”
“Baik, Pak. Saya tidak akan mengulanginya
lagi.” Jeni berkata sungguh-sungguh.
“Saya taruh tas di loker dulu ya, Pak.”
Jeni segera menuju loker di dekat ruang kelas.
Dia menaruh ponselnya di atas lemari
loker bersamaan ketika di sampingnya seorang
cowok tampan dan keren berambut cepak membuka kunci loker. Jeni hampir tak bisa
mengedipkan mata karena terkagum-kagum.
“Jenifer!” suara Pak Regar terdengar tak
sabar.
Jeni segera mengunci lokernya dan
mengambil ponsel di atas loker dengan buru-buru.
Dia mengikuti langkah kaki Pak Regar
menuju ruang latihan. Jeni les vokal privat di lembaga les vokal itu bersama
Pak Regar, pelatih vokal suprano yang berkompeten di Malang. Jeni akan
mengikuti lomba menyanyi beberapa bulan lagi, mewakili sekolah. Untuk itu, dia
harus insten latihan mulai sekarang. Lomba itu memperebutkan trofi tingkat
kabupaten dan kota Malang.
Pak Regar mengajaknya untuk latihan
mengambil nada. Pak Regar hendak membuka suara tapi tiba-tiba ponsel Jeni
berdering dengan nada musik rock yang keras. Jeni sangat kaget. Dia tak punya
lagu seperti ini dalam ponselnya. Pak Regar memandangnya dengan tajam.
“Maaf, Pak.” Jeni segera menerogoh
ponselnya di saku. Dia terperanjat saat tahu ponsel yang diambilnya tadi bukan
miliknya. Dia salah ambil. Merk dan tipenya memang sama. Duh, sialnya! Jeni
segera mematikan ponsel itu dengan gugup. Biarlah nanti dia urusi tragedi
ponsel ini. Banyak ulahnya yang sudah cukup menguji kesabaran Pak Regar hari
ini. Benar-benar kesan hari pertama yang buruk.
Jeni jadi kurang konsentrasi dalam
latihan. Dia sering salah nada ketika Pak Regar melatihnya beberapa nada. Jeni
menggigit bibir dengan gelisah.
“Tok… tok… tok!”
“Permisi!”
Pak Regar dan Jeni menoleh ke arah
sumber suara. Tampak seorang cowok dengan wajah kesal sedang menggenggam ponsel
Jeni.
“Iya, ada apa?” sahut Pak Regar, datar.
“Maaf mengganggu, Pak. Saya mau ketemu
Jenifer. Ponsel kami tertukar saat di loker tadi. Apakah bapak mengizinkan?”
tanya cowok berwajah oval itu.
Jeni bergidik, antara ngeri dan menyesal.
“Oke, silahkan.” Pak Regar mengizinkan.
Jeni segera menghampiri cowok itu dengan
wajah semerah ceri karena begitu malu.
“Maaf, aku tak sengaja membawa ponselmu.
Aku buru-buru tadi.”
Jeni menyodorkan ponsel milik cowok itu dengan menyesal.
“Lain kali, hati-hati.” ketus cowok itu,
sambil menyerahkan ponsel Jeni. Cowok itu menatap Jeni tajam, membuat Jeni
semakin gugup dan takut. “Jangan ambil ponsel orang sembarangan. Ini bisa masuk
tindakan kriminal.” sambungnya, culas.
Jeni semakin merasa bersalah dan
menundukkan kepalanya. Dua kesan pertama yang sangat buruk. Pertama, pada Pak
Regar. Kedua, pada cowok keren ini. Waduh, padahal Jeni ingin banget kenalan
sama dia.
“Sudah, Pak. Terima kasih.Permisi.” pamit cowok
itu.
Jeni hanya mampu melirik sekilas. Dia
menggugurkan niatnya untuk berkenalan. Ini saat yang buruk. Dia harus
memperbaiki citranya
dulu sebelum berkenalan
dengannya. Jeni memandang kepergian cowok itu sambil terpesona. Dia merasa
familiar dengan wajahnya. Jeni yakin dia mengenali cowok berwajah oval itu.
“Jeni, buat apa lagi kamu berdiri mematung
di situ?” tegur Pak Regar. Sepertinya beliau marah.
“Iya, Pak. Iya, maaf.” Jeni jadi panik
sendiri dan segera melangkah
ke hadapan Pak Regar. Aduh! Sial.
#^*^#
Di atas kursi rodanya, Diraz duduk dan
membelai-belai foto Papa-Mama dengan perasaan terluka. Rasa bersalah masih
membanjiri lubuk hatinya sejak kepergian orang tuanya. Penyesalan terbesarnya adalah pada saat papa wafat tiga
tahun lalu.
Maafkan Diraz, Papa-Mama. Diraz
berkata dalam hati. Dia sangat merindukan almarhum kedua orang tuanya. Kepedihan di dadanya menumpuk.
Dia ingin kembali ke masa itu dan memperbaiki semuanya, terutama kesalahannya pada almarhum Papa.
Tapi semua sudah terlambat. Kakinya
lumpuh. Dia hanya bisa bergantung pada kursi roda dan bantuan para pembantunya.
Diraz meletakkan foto itu di samping
sebuah toples kaca berisi bunga dandelion kering. Toples itu mengingatkannya
pada seorang gadis yang pernah dicintainya saat SMP dulu. Diraz merindukannya
tiba-tiba. Dia berdoa semoga bisa bertemu dengannya lagi.
“Diraz, aku sudah beli peralatan
melukis untukmu. Ini aku juga belikan beberapa buku pesananmu. Kembaliannya aku
pakai buat nyewa film terbaru. Kamu nggak keberatan kan?” Suara cempreng itu
tiba-tiba membahana di kamarnya.
Eva datang sambil menenteng beberapa
plastik belanjaan. Gadis berambut itu ikal sebahu itu sangat setia menemani Diraz.
Dialah yang selalu berusaha menghibur Diraz selama ini. Namun soal perasaan, dia sangat
tertutup pada Diraz. Persahabatan mereka sangat akrab dan erat. Diraz begitu
sulit membedakan perasaan yang ada dalam hatinya untuk Eva.
“Tet tet teteeeeeettt! Tebak film apa
yang kusewa barusan?” Eva berkata dengan penuh semangat.
“Yang jelas bukan Final Destination
kan? Kamu kan fobia darah.” sahut
Diraz,
asal.
“How to Train Your Dragon 2. Kamu pasti belum nonton kan?”
“Sudah.” Diraz tersenyum jail. “Tapi
dalam angan-angan.”
Mereka lalu tertawa bersama. Diraz
bersyukur Eva selalu ada untuknya. Diraz sendiri seolah menganggap Eva sebagai
saudara sendiri. Mereka tinggal serumah sejak keduanya masuk SD. Papa dan Mama
mempekerjakan bapak dan ibu Eva di rumah Diraz sejak kedua Diraz SD. Bersamaan saat itu, Eva juga masuk dalam kehidupan Diraz. Kedua ortu Eva
adalah keluarga yang sangat sederhana. Mereka bahkan kesulitan untuk
menyekolahkan Eva. Kakek Diraz pernah berteman dengan kakek Eva sehingga Ortu
Diraz percaya untuk mempekerjakan ortu Eva. Rumah Diraz yang besar
dan luas dirawat dengan telaten oleh kedua orang tua Eva setiap hari. Bahkan
Eva juga tak pernah malu membantu ibunya mengepel rumah Diraz. Ortu Diraz sudah
berjanji akan menyekolahkan Eva sampai jenjang tertinggi karena mereka melihat
potensi kecerdasan Eva sejak sekolah dasar.
Diraz tahu Eva selalu tulus
bersahabat dengannya. Bahkan saat kini kondisinya sudah berubah. Sekarang Diraz
lumpuh, tapi Eva justru menguatkannya. Walau Diraz sering mengecewakan Eva
karena Diraz belum mau melakukan terapi ke Singapura untuk kesembuhannya. Diraz
masih menyesal karena kepergian papanya
akibat ulahnya tiga tahun
yang lalu.
#^*^#
Sehabis latihan band, Alfin segera menuju ke tempat rahasia. Dia ingin melepaskan
segenap penat dan rindu pada masa lalu sambil menatap matahari yang tergelincir
jadi senja di langit. Alfin duduk di kursi, merasakan hembusan angin yang
lembut.
Dia menatap foto kakak dan ibunya,
juga foto saat keluarganya masih utuh. Danau-danau kesedihan di matanya mulai
penuh. Namun dia tak akan menangis. Tak akan pernah. Dia harus kuat. Masih ada
harapan. Selalu.
Dia sangat menyesalkan perceraian
kedua orang tuanya dulu. Dia ingin keluarganya kembali utuh. Tapi rasanya itu
sangat sulit, atau bahkan mustahil. Keluarganya berantakan. Sementara papa
sangat tertutup dan sibuk dengan pekerjaannya. Alfin bisa saja jadi anak nakal
tapi dia selalu teringat ibunya. Dia sedih dan takut ibu kecewa jika dia
melampiaskan dendamnya di jalan yang salah. Alfin bertekad ingin membuktikan
pada ayahnya bahwa dia bisa berprestasi di dunia musik, terutama band.
Dia membayangkan selembar kertas
origami yang ada di tangannya adalah sebuah harapan, lalu dia melipat kertas
itu menjadi sebentuk bangau. Bangau kertas harapan. Dia menitipkan harapan itu
pada sayap bangau kertas melalui tulisan:
27/2: Keluarga yang utuh dan
bahagia
Dia memasukkan bangau kertas itu
bersama ratusan bangau kertas yang lain yang ada di dalam kardus. Dia berharap
bisa bertemu dengan ibunya lagi. Tapi papa belum mengizinkan dia bertemu dengan
ibu dan kakaknya. Tampaknya papa sedang merahasiakan sesuatu.
Perut Alfin mendadak lapar. Dia ingat
di dalam tasnya ada sekotak brownies. Alfin ingat itu pemberian cewek yang
kemarin salah mengambil ponselnya. Alfin memakan brownies itu sambil mengingat
tragedi lucu itu. Dia tersenyum kecil. Sejam yang lalu di tempat kursus vokal,
gadis itu tampaknya begitu takut dan malu bahkan saat tadi dia mengucapkan
permohonan maaf. Dia sampai membawa sekotak brownies juga untuk menebus
kesalahannya itu.
Alfin menerima brownies itu untuk menghargai usaha
gadis itu. Dia merasa gadis itu benar-benar berusaha minta maaf dengan tulus.
Lagipula brownies adalah kue favorit Alfin.
Namanya Jeni ya? Dia lucu juga. Tapi bagi Alfin, dia
tak ada bedanya dengan cewek-cewek mata keranjang lainnya. Cewek yang
melihatnya karena
terpesona penampilannya. Cewek yang suka curi-curi perhatiannya dengan
memberinya kado atau hadiah. Alfin bosan dan malas menanggapi cewek seperti
itu. Baginya tak ada perempuan sebaik ibu dan kakaknya.
Kakaknya yang
mengejarinya origami sejak kecil. Tapi Alfin masih mencari satu gadis baik hati
yang pernah menolongnya saat kecil. Dia menerogoh sakunya lalu mengeluarkan
sebuah jepit rambut bermotif bunga dandelion. Benda kecil itu sudah belasan
tahun disimpannya, tapi Alfin belum menemukan satu pun cara untuk mengembalikan
pada pemiliknya. Bahkan namanya saja Alfin tak tahu.
#^*^#
Oriz tersenyum melihat May berjalan bersama
teman-temannya keluar gerbang sekolah. Ingin sekali rasanya Oriz mengajak May
pulang bersama. Namun, May adalah pacar sahabatnya, Irgan. Tentu Irgan akan
curiga jika dia memaksa May pulang bersamanya walau mereka bertetangga. Segenap rindu menumpuk di dadanya. Di daerah
perumahannya, di tepi jalan Oriz melihat beberapa bunga dandelion tampak mekar.
Oriz berhenti di tepi jalan.
Dia memetik setangkai bunga dandelion itu lalu
memasukkannya ke dalam tas. Dia tersenyum sekilas sebelum melanjutkan
perjalanannya pulang. Sesampainya
di rumah, Oriz segera menuju ke kamarnya lalu mengambil toples kaca di atas lemarinya. Dia membuka
toples itu lalu memasukkan setangkai bunga dandelion ke dalamnya. Bunga
dandelion itu disambut oleh banyak dandelion yang sudah memenuhi separuh volume
toples itu.
Oriz menutupnya rapat-rapatnya. Lalu bergumam lirih,
“Satu lagi rasaku untukmu, Ratu Dandelion. Aku harap kesempatan untuk
menyatakan rasa ini padamu masih ada.”
Dia mengembalikan toples dandelion itu ke tempat semula.
Buru-buru dia ke ruang tamu lalu membuka gorden. Terlihat May baru saja sampai
di depan rumah sepulang sekolah. Rambut sepunggung May yang dikuncir kuda bergoyang pelan.
Membuatnya semakin terlihat memesona di mata Oriz.
“Ratu dandelionku, lihatlah aku di sini.” lirih Oriz.
May menoleh ke arah rumah Oriz. Oriz berdecak kaget. Dia begitu gugup karena
kata-katanya barusan seolah didengar May.
Tapi May segera masuk ke dalam lalu menutup pintu rapat-rapat. Oriz
mendesah lega.
Comments
Post a Comment