Kemelut Tanah Samaran
Oleh: Moch.
Nurfahrul Lukmanul Khakim, M.Pd
(Dosen Sejarah
Universitas Negeri Malang)
Novel
Samaran mengambil latar cerita di suatu pelosok Mojokerto. Desa Samaran adalah
desa fiktif tapi memuat kebudayaan masyarakat Jawa Timur yang kental. Novel ini
seolah menguak sisi lain manusia dan budaya Jawa Timur dengan liar dan berani.
Acara
bincang novel Samaran diadakan Senin, 2 April 2018 di Kafe Pustaka Universitas
Negeri Malang. Nanang Bustanul Fauzi, dosen Sastra Indonesia di Universitas
Brawijaya selaku pembedah mengatakan konflik yang rumit dalam novel ini dapat
diimbangi dengan narasi yang baik. Mundi Rahayu, Dosen Sastra Inggris UIN
Malang, mengatakan novel Samaran menempatkan perempuan sebagai sosok yang
terabaikan sekaligus sosok yang berani mengambil keputusan.
Dadang
Ari Murtono, selaku penulis novel Samaran, mengaku menulis novel ini karena
terinspirasi dari legenda Kerajaan Majapahit. Sebagai sastrawan muda yang
diperhitungkan di Jawa Timur, Dadang merasa membawa beban besar tentang
Majapahit karena dimana pun Dadang pergi, orang-orang selalu menanyainya soal
Kerajaan Majapahit. Dadang sempat memberontak karena Dadang bukan akademisi
Sejarah yang mengkaji Kerajaan Majapahit. Dadang mengenal Trowulan bukan hanya
sebagai ibukota Majapahit sekaligus kampung halamannya. Kemelut batin Dadang
ini dituangkan ke dalam novel Samaran dibarengi riset tentang Sejarah
Majapahit.
Novel
Samaran sendiri menceritakan soal kehidupan rumah tangga Yati Gendut dan
Marjiin yang penuh dengan intrik dan keganjalan. Novel Samaran ini menyadur
kearifan lokal Majapahit dalam nuansa kontemporer yang magis. Contoh kearifan
lokal Majapahit yang cocok melebur dalam filosofi Jawa adalah ketika orang Jawa
mencari tempat tinggal / pemukiman maka mereka akan mempertimbangkan tiga hal
penting ini yaitu penak mangan, penak
turu, dan penak ngising.
Filosofi
tiga prinsip itu adalah pengan mangan itu mudah mencari makan dan minum, penak
turu itu suasananya tenang dan damai, dan penak ngising artinya lingkungan yang
sehat. Filosofi ini bisa dijadikan refleksi untuk masyarakat Indonesia,
khususnya Jawa saat ini. Terutama masyarakat awam yang mengabaikan aspek
lingkungan yang sehat dengan membuang sampah sembarangan dan rendahnya
kesadaran sanitasi. Novel ini seolah menyindir kebiasaan masyarakat Indonesia
yang suka menggunjing dan dengki dengan kebahagiaan orang lain. Novel ini juga
ingin menunjukkan bahwa sejelek apa pun perangai seseorang pasti masih
menyimpan secuil kasih sayang.
dimuat koran Surya:
Rabu, 11 April 2018
Comments
Post a Comment