Pesan Kelam dari Saudara dalam Sejarah
Oleh: Moch.
Nurfahrul Lukmanul Khakim, S.Pd., M.Pd
(Dosen Sejarah,
Universitas Negeri Malang)
Pemutaran
Film Dokumenter “ Saudara Dalam Sejarah / Dear My Homeland” karya Amerta
Kusuma. Diskusi film ini dikupas oleh Mahesa Desaga, Sutradara asal Kediri, dan
Yusri Fajar, dosen UB dan sastrawan yang pernah belajar di Eropa. Acaara atas
kerjasama Pelangi Sastra Malang dan Gambaroba ini digelar pada Senin, 28
Agustus 2017 di Kafe Pustaka, Perpustakaan Universitas Negeri Malang.
Mahesa
yang sudah berpengalaman membuat film ini menduga bahwa film ini ingin
mengangkat sesuatu yang tidak diekspos secara besar. Warisan orde baru yang
jarang diketahui. Awal munculnya orde baru, para eksil itu sebenarnya adalah
mahasiswa yang berada di luar negeri untuk lanjut belajar tapi terjadi
pergolakan politik di Indonesia. Pergantian rezim politik tidak seharusnya
menggunakan cara sekejam itu. Warisan orde baru yang layak untuk
diperbincangkan secara humanis karena ada yang tidak beres dalam sejarah
Indonesia.
Yusri
menilai film ini bukan gambaran yang tepat sebagai sumber sejarah para eksil
itu. Film ini cocok untuk membahas tentang kondisi psikologi para eksil
Indonesia. Kita harus membedakan antara eksil dan imigran. Posisi eksil dan imigran
itu berbeda karena imigran bebas pulang-pergi ke Indonesia. Tom Ilyas sebagai
tokoh kunci dalam film ini mengunjungi semua kawan-kawannya sesame eksil
Indonesia di Belanda. Waktu pulang ke Sumatera pada 2015, ternyata Tom Ilyas masih
diperlakukan secara kasar di kantor imigrasi, bahkan sampai para petugas
membentak-bentak dan membanting gelas. Para eksil Indonesia banyak yang berada
di Eropa Timur karena Soekarno punya hubungan baik dengan negara-negara Eropa
Timur seperti Rusia, Slovakia dan Ceko. Mereka disuruh lanjut belajar asal bisa
membangun Indonesia setelah lulus kuliah. Tom Ilyas sebenarnya dikirim ke China
tapi di sana sedang terjadi pergolakan juga sampai akhirnya terdampar di
Belanda. Bagaimana mereka bisa tetap bertahan di sana? Belanda memiliki satu
aturan khusus soal eksil politik. Alasan secara historis, para penjajah itu pernah
melakukan banyak dosa sejarah sehingga ingin ditebus. Ketika negara Eropa tidak
punya kebijakan seperti itu, maka para eksil ini akan kesulitan. Kecuali para eksil yang menikah
dengan perempuan Eropa, maka akan memiliki kemudahan di Eropa.
dimuat koran Surya: Jumat, 8 September 2017 |
Salah satu kisah eksil yang menyentuh dalam film itu adalah Sarmadji, 50 tahun, pengumpul obitiari dan riwayat hidup para eksil Indonesia di berbagai negara. Sarmajid membukukan nasib kawan-kawan seperjuangannya itu dengan sukarela dan terinspirasi salah satu isi buku Pramudya Ananta Toer; menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Lebih dari 130 eksil yang sudah meninggal dan dikuburkan di luar negeri. Sarmadji tidak suka passport Belanda karana hatinya tetap orang Indonesia. Dia terpaksa menggunakan passport Belanda untuk menengok Indonesia (Solo).
Wacana
di balik pelarian para eksil politik. Dunia batin para eksil selalu dipenuhi
dengan memori imaginary homeland.
Memori itu akan terpecah-pecah karena
daya ingat akan menurun seiring bertambah usia, berusaha ingin memiliki masa
lalunya. Solidaritas dan kekeluargaan menjadi prioritas dipertahankan pada masa
tua untuk membantu memaafkan masa lalu.
dimuat koran Surya:
Jum’at, 8 September 2017
Comments
Post a Comment