Sinau Aksara Jawa Kuno
Oleh: Moch.
Nurfahrul Lukmanul Khakim, M.Pd
(Dosen Jurusan
Sejarah Universitas Negeri Malang)
Bahasa
Jawa Kawi kuno memiliki keunikan tersendiri, terutama sebelum mendapat pengaruh
dari Mataram. Bahasa Jawa Kawi berbeda dengan aksara Jawa yang selama ini
diajarkan dalam mata pelajar muatan lokal yaitu Bahasa Daerah. Bahasa Jawa Kuno
(Kawi) berasal dari abad ke-8 Masehi, lebih kuno dibandingkan aksara Jawa baru /
hanacaraka digunakan pada abad ke-16 Masehi.
Belajar Aksara dan Bahasa
Jawa Kuno (Kawi) diselenggarakan oleh Komunitas Jawa Kuno di Perpustakaan Umum
Kota Malang pada tanggal Sabtu, 2 Juni 2018. Acara ini sengaja diselenggarakan
sambil menunggu momen buka puasa karena saat itulah mayoritas masyarakat memiliki
waktu senggang.
Aang Pambudi Nugroho,
S.Pd, didapuk sebagai pemateri utama memaparkan pentingnya belajar aksara Jawa
kuno. Selain untuk mengenal jati diri bangsa, memelajari aksara Jawa kuno juga
berguna untuk memupuk rasa cinta kepada kearifan lokal. Setiap prasasti berbahasa
Jawa kuno sebenarnya memiliki pesan/isi yang beragam, terutama tentang
kehidupan dan teknologi pada masa Indonesia kuno. Misalnya; Prasasti Sangguran
yang ditemukan di Batu, berisi tentang pemberian tanah sima/perdikan/tanah bebas
pajak kepada para pandai besi di Desa Junrejo. Para pandai besi itu bertugas
membuat peralatan perang untuk alutista kerajaan Mataram kuno.
Prasasti tertua di
Indonesia yang menggunakan aksara Jawa Kuno Kawi adalah prasasti Dinoyo yang
ditemukan di Karangbesuki, Malang. Prasasti peninggalan kerajaan Kanjuruhan itu
memiliki makna penting bagi masyarakat Malang. Tetapi prasasti ini masih
menggunakan bahasa sansekerta. Aang menjelaskan bahwa dia tertarik belajar
prasasti dan aksara kuno sejak terlibat berbagai penelitian di Yogyakarta dan
Trowulan. Alumni Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang juga prihatin dengan
vandalisme yang marak terjadi di candi-candi, terutama Candi Badut. Oleh karena
itu, dia rutin mengadakan diskusi dan workshop menulis aksara Jawa secara
sukarela agar bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai
peninggalan sejarah.
Enam belas peserta yang
mengikuti acara ini tampak antusias mencatat dan berdiskusi dengan Aang. Para
peserta berasal dari berbagai latar belakang mulai dari mahasiswa ekonomi,
perikanan, teknik, sastra Inggris sampai dosen Geografi. Hal ini menunjukkan
bahwa peminat kearifan lokal sebenarnya banyak asal mendapat informasi dan
wadah yang tepat. Pemateri mengenalkan aksara Jawa kuno secara lengkap mulai
dari huruf, konsonan sampai tanda baca Jawa Kuno. Setiap peserta diberi salinan
tiga lempeng Prasasti Kakurugan yang disadur ke dalam kertas agar lebih mudah
dipelajari. Aang membimbing para peserta agar mampu memahami teknik dasar
membaca prasasti/tulisan Jawa kuno kawi dengan baik dan benar.
dimuat
koran Surya: Rabu, 13 Juni 2018
Pengin maba lagi tapi pindah sejarah kalau dosennya progesip gini :")
ReplyDeleteTetap boleh ikut kok, ini terbuka untuk umum tapi sayang belum bisa dilakukan dengan rutin
Delete