Mendung Sepanjang Benteng Vredeburg dan Sangiran
24 Maret 2018
Sehabis
sarapan dengan nasi kuning yang hambar, kami keluar dari hotel menuju Benteng
Vredeburg. Kami parkir di dekat gedung Bank Indonesia dan Taman Pintar.
Gerbang Benteng Vredeburg |
Kami jalan sekitar satu kilometer menuju
benteng peninggalan kolonial Belanda dari abad ke-18 M itu. Sudah lama aku
ingin ke sini. Bangunan bersejarah ini terawat dengan baik. Gedung-gedung lama
dijadikan museum dengan koleksi artefak yang anehnya justru berasal dari
militer masa modern. Kami bertemu Mbak Ulfa dan Pak Blasius lagi. Kami berfoto
di antara Patung Jendral Sudirman dan
Patung Urip Sumardjo.
Nol Kilometer Jogja |
Benteng ini cukup luas jadi aku belum sempat
mengelilingi semua sudut. Sebelum masuk bus, aku sempat berfoto di depan taman
pintar. Aku tak sempat berburu buku karena keterbatasan waktu. Sambil menunggu
bus, aku makan bakso di parkiran karena kami
baru makan siang di Solo nanti, sekitar tiga jam lagi. Baksonya buruk dan
gorengannya keasinan. Banyak micinnya. Harganya
mahal pula. Sama sekali tidak untuk diulangi
lagi.
Taman Pintar Yogyakarta |
Aku sempat tertidur selama perjalanan menuju Solo. Aku lupa memasang
masker mulut jadi aku tahu aku bakal mendengkur dan itu cukup memalukan. Tapi
aku kesulitan tidur jika pakai masker hidung. Lagian aku juga kelelahan. Rumah
Makan ini cukup luas.
Denah Benteng Vredeburg |
Sebenarnya kami sudah kesorean menuju museum
Sangiran. Bahkan tiga puluh menit lagi adalah jam tutup museum ini tapi pihak
travel bisa menegosiasi. Hujan deras menyambut kedatangan kami begitu memasuki
area Museum Sangiran. Aku segera mengurus SPPD karena ini situs terakhir. Pihak
museum memberi kami kelonggaran waktu untuk berkunjung dan mengerjakan tugas.
Jembatan Sangiran |
Tak terasa kami sudah dua jam di sana. Hujan
sudah reda. Selesai salat ashar, kami berangkat pulang. Aku pindah ke kursi
belakang agar bisa
tidur selonjoran di kursi belakang. Bangun-bangun, kami sudah sampai di rumah
makan Ngawi jam sepuluh malam. Ternyata tidurku nyenyak sekali. Semua dosen
sudah makan kecuali aku. Karena tak ada menu yang menarik dan lezat, aku
memesan rawon hangat. Mas Wahyu menyesal memesan nasi goreng hambar jadi dia
memesan pepes ayam.
Museum Sangiran |
Comments
Post a Comment