Cara Sejarah Merayakan Kartini
Oleh: M. Nurfahrul Lukmanul Khakim
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas
Negeri Malang)
Perempuan mengalami pergulatan
panjang dalam sejarah namun seringkali terpinggirkan atau bahkan terhapus dari
catatan peristiwa. Perempuan sebagai seorang ibu atau istri menjadi sosok
perkasa sekaligus dipandang sebelah mata dalam panggung dunia. Kesetaraan dan
keadilan gender dicetuskan untuk memperjuangkan derajat perempuan sebagai
manusia yang utuh dan berkontribusi nyata dalam sejarah peradaban umat manusia.
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang punya cara tersendiri untuk merayakan hari Kartini
kemarin (21/4/2016). Adalah Seminar Nasional dengan tema Perempuan dalam Arus
Sejarah Indonesia yang digelar di Aula A3 UM menjadi saksi bahwa kiprah
perempuan Indonesia layak diperhitungkan. Para pemateri yang semuanya perempuan
mengajak para peserta yang sebagian besar adalah guru dan mahasiswa untuk
merefleksi sosok perempuan Indonesia yang luar biasa.
Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis
INKRISPENA, membuka materi seminar dengan kritikan yang menggebrak mengenai
krisis penulisan biografi perempuan di Indonesia. Penulisan biografi perempuan
di Indonesia masih tidak sesuai dengan waktu natural perempuan sehingga
terjebak antara objektifitas dan subjektifitas. Selama gempuran Belanda
(1947-1949) di Indonesia, perempuan muda membuat laskar putri (LPI) dan laskar
wanita (Laswi) untuk para ibu yang bertugas membantu pengungsi, mengelola dapur
umum, mencari makanan dan menjadi petugas palang merah.
Peran perempuan dalam kesetaraan jender
ternyata sudah dipelopori sejak zaman Indonesia Kuno abad 8-15 Masehi. Ufi
Saraswati, Dosen Sejarah Unnes, sepakat tentang ketangguhan perempuan Indonesia
dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi seperti Ken Dedes yang menjadi motor
pengalihan kekuasaan dari Tunggul Ametung ke Ken Arok. Mengutip hasil kajian
Nastiti dari data artefaktual dan tekstual, Kusumawarhddhani seorang istri yang
berkuasa lebih tinggi dari suaminya, Wikramawarddhana. Kusumawarhddhani bahkan
menetapkan Prasasti Patapan II dan Trah sebagai pengesahan lambang daerah
kekuasaannya.
Perempuan sebagai calon konco wingking atau sigaraning nyowo suami sebaiknya dipersiapkan dan dibekali dengan
pendidikan agar menjadi sosok yang matang, dewasa, dan siap membina rumah
tangga. Mutiah Amini, dosen Sejarah UGM, mengungkapkan fenomena perempuan
Indonesia yang sering terjebak dalam pernikahan dini karena perjodohan,
poligami, kawin kontrak, bahkan perdagangan manusia. Perempuan Indonesia sudah
memperjuangkan pembentukan peraturan perkawinan yang dapat diterima masyarakat
secara luas sejak tahun 1937. Kesadaran perempuan untuk melindungi hak-hak
perempuan telah digagas sejak negara ini belum merdeka menunjukkan
intelektualitas perempuan Indonesia yang berkualitas.
Senada dengan hal tersebut, Siti
Malikhah Towaf, dosen Sejarah UM, mendukung perlunya peningkatan kajian
kewanitaan untuk meningkatkan pemahaman lebih mengenai peran dan porsi
perempuan dalam segala bidang. Kartini memang menjadi sosok inspiratif yang
harus diteruskan tongkat estafetnya oleh generasi perempuan masa kini dan masa
depan.
Ipong Jazimah, dosen Sejarah Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, membuka tabir S. K. Triurti sebagai perempuan politukus
tulus dan sejati di Indonesia namun sejakterjangnya justru terpinggirkan bahkan
hampir terlupakan. S. K. Trimurti terlibat aktif dalam perpolitikan Indonesia
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yaitu menemani suaminya Sayuti Melik
menulis naskah proklamasi kemerdekaan RI, saksi rapat BPUPKI, mengetahui Partai
Buruh Indonesia, dan menjabat sebagai Menteri Perburuhan.
Yuliati, dosen sejarah UM, menutup
seminar dengan memaparkan perhatian istimewa Tamansiswa kepada perempuan
sebagai wadah cikal bakal manusia. Perkembangan jumlah anggota dan problematika
yang kompleks menuntut dibentuknya Wanita Tamansiswa yang membina sebagai calon
ibu yang penuh kasih sayang dan cerdas. Sejarah telah memamerkan kedigdayaan
perempuan dalam membangun peradaban dengan airmata, doa, dan ketulusan. Kartini
hanya satu dari sekian juta sosok perempuan yang terus berjuang melawan stigma
miring sambil terus mengayam asa untuk mewujudkan cita-citanya. Semoga!
dimuat koran Surya:
Senin, 30 April 2016
Comments
Post a Comment