Diraz terhenyak kaget. Dia segera menghapus air matanya lalu menghindari tatapan Eva yang menyodorkan tisu untuknya. “Ini tisunya, Diraz.” Eva memaksa. Diraz menerima tisu itu dengan engan. Bukan sekali ini Eva memergoki Diraz menangis. Cowok berkursi roda itu teramat terpukul sejak papa wafat . Dia sering menyalahkan dirinya sendiri. “Kau harus pura-pura mati,Va. Seharusnya kau tak melihatku seperti ini lagi. Aku malu menangis dan lagi-lagi ketahuan olehmu,” sesal Diraz. “Menangis atau mengekspresikan emosi itu sah-sah aja kok. Cuma kamu harus mengendalikannya, Dir . Aku mengerti perasaanmu. Tapi menyesal dan menyalahkan dirimu sendiri terus-menerus hanya akan menyakitimu.” Eva menasehati . Diraz tertunduk sedih. “ Come on , dimana Diraz yang dulu kukenal supel dan ceria?” Eva berkelakar. “Kalau kamu butuh teman bicara, ada aku di sini. Kita sudah berteman sejak kecil. Bahkan aku tinggal bersamamu sudah sejak sangat lama. Kamu nggak sendiri, Dir .” Diraz mengangk