Keperawanan Memang (Tidak) Harus Dipertanyakan
Judul : Sejujurnya Aku….
Penulis
: Aveus Har
Penerbit : Bentang
Tahun
Terbit : Maret 2015
Tebal : vi+214
halaman
Masihkan keperawanan menjadi
persyaratan yang mutlak dalam sebuah perkawinan budaya timur? Di satu sisi,
keperawanan bisa menjadi harga mulia seorang mempelai wanita. Di sisi lain,
keperawanan telah menjadi kartu mati bagi seorang perempuan untuk menatap masa
depan?
Novel ini mengupas sebuah hal tabu
namun begitu dekat dengan kehidupan kehidupan wanita masa kini. Isu keperawanan menjelang pernikahan
diceritakan dengan mengangkat psikologis tokoh utama tanpa menjebak pembaca
dalam nuansa dramatisasi. Pergolakan jiwa tokoh utama Charista disampaikan
dengan jujur dan lugas tanpa kehilangan muatan emosi yang kuat. Di sini
Charista seolah mengajak pembaca menggugat peraturan tidak tertulis mengenai
arti sebuah keperawanan dalam pernikahan. Sesuatu yang rahasia justru
sepatutnya dibicarakan demi sebuah keadilan kaum perempuan.
Melalui pemikiran Charista, penulis
mengajak pembaca kritis tentang isu gender terutama keperawanan. Charista
pernah terjeremus cinta buta bersama Farel di masa muda sehingga membuatnya
kehilangan mahkota keperawanannya. Hal tersebut membebaninya seumur hidup
sehingga sempat membuatnya takut menikah. Charista mulai kembali berani membuka
hati ketika bertemu Nathan. Segala pengertian Nathan perlahan meyakinkan
Charista untuk menerima lamaran lelaki itu.
Namun bayang-bayang keperawanan
mulai menghantuinya lagi justru ketika mendekati hari pernikahannya. Sosok
Farel tiba-tiba datang dan menawarkan kembali kisah cinta yang dulu pernah ada.
Charista terjebak antara masa depan dan masa lalu yang sama-sama memikat
sekaligus menjerang kepedihan. Charista, sosok perempuan yang sukses dalam
karir dan sosial ini harus kembali menyesali dan mempertanyakan esensi
keperawanan dalam sebuah pernikahan?
Sebenarnya Charista ini mewakili
kaum perempuan pada umumnya, terutama orang yang pernah mengalami hal yang sama
dengannya. Keperawanan perempuan selalu menjadi kambing hitam dalam sebuah
pernikahan. Entah undang-undang mana yang menjamin bahwa kebahagiaan sebuah
pernikahan adalah dimulai pada keperawanan yang mutlak. Secara humanis, penulis
ingin menunjukkan bahwa Charista hanyalah manusia biasa yang pernah melakukan
suatu kesalahan besar pada masa remajanya. Bisa jadi masih banyak remaja lain
yang melakukan kesalahan yang lebih parah dari Charista, namun kesalahan yang
terlalu tabu ini telah menggiring perempuan pada keputusasaan memperbaiki keadaan.
Setiap kesalahan berhak untuk
mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki, walaupun tidak akan bisa
menjadikannya normal seperti semula. Sekecil apa pun keputusan yang diambil
pada masa lalu, pasti akan berdampak pada masa depan. Novel ini sesuai dengan
konteks kekinian dalam melihat pergaulan pemuda Indonesia yang semakin bebas.
Hampir setiap semester terdapat kasus siswa dikeluarkan dari sekolah karena
hamil di luar nikah. Belum lagi kasus pelecehan seksual yang mengancam
anak-anak sampai dewasa. Semua itu sepatutnya menjadi pembelajaran bagi
masyarakat Indonesia, terutama orang tua dan sistem pendidikan, untuk berbenah.
Pendidikan seksual mungkin sesuatu
yang masih dianggap tabu, namun sebenarnya memiliki manfaat yang baik jika
diajarkan dengan tepat. Novel ini hanya fragman kecil dari kegelisahan jutaan
perempuan di Indonesia yang harus menanggung beban dari sebuah keperawanan.
Sedangkan mereka bahkan tak berkutik untuk mempertanyakan hal sebaliknya kepada
pihak lelaki.
Novel ini memang hanya merangkum
segi psikologis satu tokoh korban saja. Bahasa yang digunakan cukup rapi namun
terkadang terlalu monoton sehingga klimaks kurang memikat. Namun setidaknya
novel ini sudah berani bersuara untuk membela sekaligus mengadili keperawanan
yang selalu dijunjung sebagai sebuah keniscayaan menuju kebahagiaan pernikahan.
Hal ini membuat esensi sejati pernikahan yang membahagiakan justru dilupakan
yaitu gerbang bagi kedua pasangan untuk saling memperbaiki dan melengkapi dalam
bahtera kehidupan bermasyarakat. Penerimaan terhadap pasangan sebenarnya
mendidik diri kita sendiri untuk rajin mensyukuri segala nikmat Tuhan. Apa berani
menggugat pernikahan tanpa kepercayaan untuk saling memiliki?
Juara
3 Lomba Menulis Rubrik Resensi Majalah Komunikasi UM 2015
Comments
Post a Comment