Cuplikan Novel ‘Hiding My Heart’ karya Fahrul Khakim

  1. Tamu



Tolong, Lara hampir kena serangan jantung. Bagaimana mungkin fatamorgana terjadi di pagi hari? Lara mengusap mata dengan tak percaya. Bayangan ini terlalu nyata baginya. Apa ini sisa-sisa mimpi Lara tadi malam? Sosok di depannya ini membuatnya nyaris pingsan. Dia tersenyum tipis ke arah Lara.
Jangan lihat aku, Bodoh! Sial, kau pasti menjebakku. Kenapa kau tak memberiku sedikit kesempatan untuk sedikit berbenah? Lara berpikir, panik.
Tamu adalah sulap. Mereka bisa menjelma apa dan kapan saja. Termasuk menjelma... dia. Setelah 4 tahun tak bertemu dengannya, kini dia hadir di depan Lara dengan senyum ice breaker yang mengagumkan.
Jaket bertuliskan London itu membuat dada bidangnya terlihat gagah. Dagu lancipnya mulai ditumbuhi kumis tipis, mempermanis wajah tirusnya.
Lara baru bangun tidur saat dia tiba-tiba mengetuk pintu rumah keras-keras.
Lara sempat menduga pengetuk pintunya itu adalah tukang koran yang biasa melihat Lara masih mengenakan piyama butut bergambar kelinci.
Sebentar, bukankah cowok di depannya ini seharusnya ada di London?
“Andriana Larasati, apa kabar?” Dia menyapa pakai nama lengkap Lara segala. Lara masih melongo antara senang dia mengingat namanya dengan baik dan bingung harus berbuat apa untuk menyambut kedatangan orang itu.
Dia masuk ke rumah Lara begitu saja. Tanpa berdosa, dia bahkan duduk di sofa. Membuat Lara makin bertanya-tanya dan ternganga seperti korban hipnotis.
“….,” Lara masih berdiri sebodoh keledai di belakang pintu. Gagu.
“Kau masak apa hari ini? Yuk, sarapan bareng. Aku sengaja datang pagi-pagi biar bisa sarapan di rumahmu. Aku kangen masa remaja kita dulu, Ra.” Dia mencerocos.
“….,” Lara masih memandangnya dengan mata nyaris tak mampu berkedip. Tangan Lara bergerak-gerak kacau seperti badut amatir.
“Lara, kenapa diam saja? Kamu bisu sekarang? Kamu tak suka aku datang pagi ini?” Dia terkekeh, bergurau. Sumpah, Lara sampai sebal sendiri, pengen giling cowok itu di mesin cuci. Lara segera mengatur napasnya yang memburu.
Lara berjalan mendekatinya, lalu menampar pipinya pakai jurus raket pemukul nyamuk.
Plak!
“Aduh!” Dia memekik. Tangannya segera refleks memegangi pipi kanannya yang berkedut-kedut kesakitan.
“Sambutan selamat datang yang mengerikan,” keluhnya.
Lara masih belum percaya bahwa ini bukan mimpi. Dia ada di sini, di depan Lara. Sosok cowok yang selama 4 tahun ini menghiasi mimpi-mimpinya. Dia rindu setengah mati sama cowok ini, tapi Lara malah menamparnya ketika akhirnya mereka bertemu (Ini rindu apa nafsu?).
Segera Lara menepuk pipinya sendiri.
“Auuuww!” desis Lara, menahan sakit.
“Lara, kamu kenapa sih? Sakit ya? Amnesia sekarang? Orang datang jauh-jauh dari London, kok malah ditampar?” Jemari kokoh cowok itu menyentuh kening Lara dengan gallant.
Segera Lara terkesiap sadar. Dia sungguh ada di sini. Padahal semalam Lara bermimpi mengunjunginya di London. Mereka jalan-jalan di Queensway. Salah satu pusat souvenir terkenal di London itu tuh.
            “Abe, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu seharusnya di Inggris?”
            Dahi Abe mengernyit lalu dia tertawa puas. Baru sekali seumur hidupnya bertamu ke rumah orang malah ditampar. Sadis bener ini cewek. Berbakat jadi stuntman film Charlies Angel. Cewek di depannya langsung melancarkan lototan maut ala trio macan kesambet nenek sihir. Kombinasi tatapan cantik dan angker.
“Yeah, aku berhasil menjahilimu di hari pertamaku di Malang. Aku sengaja nggak ngasih tahu kamu dulu tentang kepulanganku karena mau kasih kamu kejutan.” Abe malah cengengesan menjawab pertanyaan Lara yang superpueenting itu.
Panci mana panci? Biar Lara rebus cowok imut di depannya ini sampai jadi.... makin imut. Lho? Habis dia ngegemesin banget sih. Eh....
            Kali Lara mengeluarkan jurus panik ala mak lampir keselek jambu. Mata Lara terbelalak, giginya bergemeletuk dan tangannya bergerak-gerak kacau karena dongkol. Dia nggak tahu betapa Lara sulit tidur tiap malam karena begitu merindukannya. Dan sekarang dia dengan seenaknya saja datang tanpa mengabari Lara. Pakai ngerjain segala lagi. Dasar tamu aneh!
            “ABEEE! SIALAAAAN!” Lara cubit pinggulnya sekuat samson ngeden.
            “Aduh, sakit. Ampun, nenek sihir tukang cubit. Ampun…,”
            “Kamu nyebelin banget sih. Bikin aku bingung. Kukira aku masih mimpi, tahu?”
            “Jadi tiap malam kamu sering mimpiin aku ya?” goda Abe. Kerlingannya membuat wajah Lara seketika semerah tomat rebus.
            Lara gelagapan. Sial, sial, sial. Mukaku, tolong jangan makin merona.
            “Yeee, ge-er.” elak Lara lalu menambah cubitan ke lengan kokoh Abe.
            “Aduh, stop! Oke, aku minta maaf. Aku kapok. Tobaaat, Raaa!”
            Lara merajuk setelah melepaskan bonus cubitan itu. Dia melipat tangan di dada (Bukan di dadanya Abe, tapi di dada Lara sendiri lho!).
            “Lara, jangan ngambek. Masa sahabatnya datang nggak dikasih sarapan malah dihujani cubitan? Maaf ya. I’m so sorry.” bujuk Abe. Dia memasang mimik bersalah yang bikin wajahnya makin cute kayak para pangeran Inggris.
            “Kamu ini beneran bikin aku kaget. Kalau aku jantungan gimana? Gimana kalo semua orang bilang aku berhalusinasi? Alzaimer? Kabarin kek, kalau mau datang. Aku kan bisa… ummm, bisa siap-siap dulu.” repet Lara, kesal.
            “Oke-oke. Sorry deh. Anyway, lapar nih. Kamu masak apa?”
            IH! Abe beneran nyindir Lara deh. Boro-boro masak, cuci muka aja belum. Dasar sinting. Mana dia nyengir lagi ngelihat wajah Lara yang panik. Sebenarnya Lara juga kangen banget sarapan bareng dia. Mereka bertetangga dekat sejak Abe umur lima tahun ketika pindah ke Malang dulu. Sejak SD mereka bersahabat erat, bahkan sesekali sarapan bareng. Kadang dia di rumah Lara atau sebaliknya. Tapi sejak Abe dan keluarganya pindah ke London 4 tahun yang lalu. Kebiasaan itu berhenti, Lara sarapan dalam sepi dan sendiri.
            “Oke, biar aku aja yang masak. Setidaknya ilmu kursus memasak selama setahun bisa berguna pagi ini. Buruan gih, kamu mandi sana. Baumu bikin kecoa rumah ini mati. Dosa tahu bikin mahluk ciptaan Tuhan yang kecil dan tak berdaya itu tewas.” Abe mencibir, enteng. Dia berjalan menuju dapur dengan santai.
            “Sadis banget. Ini Sabtu tahu? Wajar, kalau aku lebih santai dari biasanya.... Secara aku kan libur tiap Sabtu dan Minggu,” Lara ngotot membela diri padahal terakhir kali dia mandi adalah 24 jam yang lalu. Kemarin sepulang kerja dia nggak mandi karena..... capek. Masa Lara bau? Dia mengendus ketiaknya. Waduh, emergency banget nih. Kamar mandi harus segera menyelamatkannya dari krisis cewek paling bau di rumah ini (Yaelah, lha wong cuma dia aja yang tinggal di rumah ini. Haduh, apaan nih? Nggak penting).
            “Jadi kamu sekarang nggak pernah jogging?”
            Ugh! Ketebak deh, Lara malas olahraga. Habis kerjaan Lara benar-benar menguras energi. Lara lebih tertarik memperbanyak waktu tidur dari pada olahraga.
            “Pernahlah, tapi jarang. Sebulan sekali.” jawab Lara, jujur. Terakhir kali dia lari pagi keliling kompleks sampai akhirnya dikejar anjing baru peliharaan tetangga sebulan yang lalu. Sejak saat itu, Lara jera jogging lagi. Tidur lebih enak kan dari pada lari-lari dikejar anjing. Yang setuju sama Lara, angkat tangan? Lho? Kok nggak ada?
            Lara menatap punggungnya sambil tersenyum ketika mereka melewati ruang tamu. Abe menoleh, memandangnya lalu balas tersenyum sekilas.
            Kekesalan Lara mulai mencair. Matanya hampir basah karena terharu dan bahagia. Abe. Ada. Di sini. Di hadapannya. Lara bisa bercanda lagi sama dia. Lara nggak bakal kesepian lagi. Lara bakal lihat dia ngupil, hei! Nggak ada yang lebih keren dikit apa? Lagian Abe kan biasanya ngupil di kamar mandi. Kok tahu? Yaelah, pake nanya lagi, Abe sendiri kok yang cerita dulu sama Lara. Mereka sahabatan sudah sekitar sebelas tahun gitu lhooo. Masa gitu aja nggak tahu? (Emang penting?)
            Oke, yang paling penting adalah sekarang Lara bisa melepas rasa kangennya sama cowok ini. Apalagi dia jago masak. Duh, nggak sabar ingin menikmatinya (Jangan ngaco! Maksudnya, menikmati masakan Abe yang lezat nan berkhasiat dan anti maksiat itu lhooo). Haduh, pikiran Lara makin lari kemana-mana ya? Pasti karena dia gugup banget ketemu lagi sama Abe. Pemirsa harap maklum ya?
            “Abe, aku kangen omelet bikinanmu.” Lara mengaku sambil membututinya ke dapur. By the way, Abe nggak punya buntut sih, itu cuma salah kata baku bahasa Indonesia. Lho? Kok ngaco lagi sih? Beginilah, pikiran Lara kalau ketemu sama cowok imut yang selama ini mendekam (emangnya napi?) dalam hatinya. Bawaannya gugup dan panik sendiri.
            “Iya, aku juga kangen lihat kamu pakai piyama.”celetuk Abe, innocent. Minta dicakar nggak sih?
            “Nyindir nih. Mau dicubit lagi?”
Mereka tertawa bersama. Tamu adalah kenangan yang hangat. Seperti sarapan yang menghadirkan semangat di pagi hari.
@_@
“Jadi?” Mata bola pimpong Lara menatap Abe penuh rasa penasaran.
Abe menusuk omelet dengan garpu lalu mengangkat ke piringnya dengan penuh nafsu angkara murka (maksudnya kelaparan banget).
“Jadi apanya? Jadi-jadian?” Abe pura-pura bego.
Dia memotong omelet kuning itu lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam mulut. Lara semakin bete. Coba saja kalau Abe pagi itu tak mengenakan kaos kuning (tadi datang pake jaket, tapi waktu masak dilepaslah. Biar nggak gerah), dipadu celana denim selutut, dan sneaker andalannya. Pasti wujud Abe tak akan sekeren itu. Belum lagi rambut model chic rockabily yang aduhai itu memperkuat nuansa maskulin pada wajahnya yang lancip dan bibirnya yang tipis. Ditambah aroma parfum aqua Abe yang khas itu bikin dada Lara berdesir.
Lara sendiri sampai tak tega mengacak-ngacak penampilan maskulin Abe pagi itu walau hatinya dongkol kayak nenek kecopetan di pasar. Hari ini dimaafkan deh, besok-besok, resiko ditanggung Abe.
Abe tampaknya sadar maksud kediaman Lara. Pasti cewek itu ngambek. Padahal sebenarnya Lara diam lebih banyak 90 % karena terpesona, 8 % karena melamun, sisanya dongkol. Jadi Abe segera cerita kayak penyiar radio habis diculik alien.
“Mom nggak betah tinggal di London. Dia ingin balik ke Malang. Aku juga gitu. Aku sama Mom lebih betah di sini. Akhirnya, dengan berat hati, Dad mengizinkan kami pindah ke sini. Tepatnya baru tadi malam aku nyampe rumah. Kukira kamu nggak di rumah. Semalam rumahmu gelap semua padahal baru jam delapan malam. Serem tahu? Kayak sarang janda nggak laku,” jelasnya.
“Kok papamu mengizinkan sih? Ortumu baik-baik saja kan?” Lara bertanya hati-hati.
“Dad ngertiin kok. Lagian nenek di Surabaya kan sakitnya sering kambuh akhir-akhir ini. Jadi aku sama Mom pengen lebih perhatian sama nenek juga. Ortuku baik-baik saja kok. Jangan sampe kau pikir mereka cerai ya? Ya nggak laaah. Setahun sekali, rencananya Dad mau jenguk aku sama mama. Atau kami nanti yang ke London lagi. Fleksibel. Kerja Dad sebagai koki di sana menuntut kinerjanya maksimal. Kami saling mengerti, asal tetap jaga komunikasi gitu,” Abe berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya biar Lara yang selalu ingin tahu ini berhenti buat nanya.
“Oke deh kalau gitu.” Lara mengangguk, paham.
“Buruan dimakan gih, keburu dingin lho.” suruh Abe. Tampaknya dia ingin segera ganti topik. Kok aneh? Biasanya dia nggak akan ganti topik kalau bukan Lara yang minta?
“Hei, tapi kamu tetap nyebelin banget kenapa ke sini nggak bilang-bilang? Huh! Tadi pagi aku beneran syok, tahu.” Lara ngedumel.
“Kan aku ingin bikin surprise. Dan horeee. Berhasil!”
“Puas sekarang? Eh, gimana kabarmu selama di London?” tanya Lara. Dia memotong omelet lalu memasukkan ke mulutnya dengan lahap. Campuran bawang, keju dan menteganya pas banget. Nyam-nyam. Abe suka banget pakai mentega dalam setiap masakannya.
Abe menelan kunyahannya lalu menyeruput air mineral.
“Sehat. Seperti yang kau lihat sekarang? Aku tambah ganteng kan?”
Ngggaaaaak. Kata siapa? Kamu tambah... tambah... ganteng banget. Racau Lara membatin. Sadar, Lara. Dia lagi narsis tuh. Balas dong pake aji-aji celetuk bidadari nyumpahin jaka tarub yang nyuri selendangnya.
“Nggak. Yang benar, kamu tambah narsis. Dasar. Serius dong.”
“Kapan kita nonton?”
Alis Lara berkerut. M-A-K-S-U-D-N-Y-A-? Serius ditonton? Oalah.
“Bukan Serius band, Kampret! Maksudku, ceritamu yang serius dong. Kamu pulang dari sana ternyata makin dongo ya, Abraham Wijaya Tyson?” gurau Lara sambil menyebut nama lengkap Abe.
“Oke, aku sekolah di London International Highschool sampai lulus. Selain itu, aku juga ambil kursus memasak selama setahun. Meneruskan hobi masak. Tapi kurasa kini memasak udah jadi sesuatu dalam hidupku. Semacam passion gitu. Dad dan Mom juga dukung banget bakat masakku ini. Jadi rencananya nanti di malang aku mau ngambil jurusan Tata Boga? Aku mau jadi chef kayak Dad.”
“Yakin? Beneran?” Kali ini Lara terkejut banget dengan penjelasan meyakinkan Abe. Dia tahu Abe sering ikut kontes memasak di London dan beberapa kali memenangkannya. Tapi membayangkan Abe jadi kaum minoritas di antara dominasi mahasiswi Tata Boga itu cukup mengerikan. Kayak membayangkan petis dicampur jus. Huweeek! Nggak ada yang kerenan dikit apa?
“Kenapa? Kamu malu ya sahabatmu yang gagah berani ini bakal sekelas sama cewek-cewek cantik jago masak kayak Farah Quinn? Apa kamu takut kalah pamor sama mereka, Nona yang pandai bikin bencana dapur?”
“Heeeeiiii, sudah ya, nyindirnya. Oke, itu sudah empat tahun yang lalu saat kau menantangku memasak. Padahal kau tahu sendiri aku cuma bisa masak air. Oke, aku udah insyaf. Aku sudah belajar masak lagi kok. Kemarin aku bikin nasi goreng dengan tanganku sendiri, tahu?”
“Enak?” Mata cokelat Abe yang mungil itu menatapnya jenaka.
“Ummmm......,” Lara tercekat sendiri. “Siangnya aku mencret sih. Kebanyakan saos dan merica.”
“Ugh!” Abe ngeri untuk membayangkannya. Jadi dia memutuskan untuk membayangkannya saja karena lucu lihat Lara bolak-balik ke toilet karena ulah nasi goreng yang diracik dengan tangannya sendiri itu. Pasti dia bakal kapok deh bikin nasi goreng lagi. Enakkan beli di pinggir jalan, harganya cuma seban dan nggak bikin mencret.
“Tapi seenggaknya aku udah belajar, tahu?” Lara nggak terima. “Kesalahan dalam belajar itu kan biasa. Kamu tuh harusnya dukung. Oh iya, mumpung kamu di sini. Nanti ajarin aku masak ya? Awas kalo nggak. Aku tendang kamu kembali ke London.” Lara mengeluarkan ultimatum kejam kayak hansip nyumpahin maling kambing.



            Sampai di sini aja ya? Mau tahu selengkapnya? Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya pada Abe dan Lara ya? Penasaran kan? Buruan ke toko buku dan beli novelnya sekarang.

Comments

  1. aku udah baca buku ini.... asli ending nya... bikin banjir........ di tunggu ya buku Buku baru nya lagi

    ReplyDelete
  2. Sip, makasih, Meidina. Sudah ada yang terbaru: #DandelionLover. Buruan baca ya? :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual