Terhanyut Karapan Dendam
Judul : Karapan Laut
Penulis :
Mahwi Air Tawar
Penerbit :
Komodo Books
Tahun Terbit :
Januari 2014
Tebal :
vi+114 halaman
Konon Madura berasal dari
sastra. Para nelayan Madura gemar melantunkan puisi sembari mengayuh dayung,
menebar jala, dan menjaring ikan. Mereka tak pernah jeri pada badai nasib yang
membayang di lautan. Selama masih ada harga diri, segala lawan akan diterjang.
Buku
kumpulan cerpen ini berisi 12 cerita tentang kehidupan masyarakat pesisir
Madura. Menggambarkan kehidupan rakyat kecil berserta budaya khas pesisir yang
jauh dari tangan-tangan politik, tapi timpang karena kebijakan politik yang
menyusahkan rakyat. Bingkai utama cerpen-cerpen dalam buku ini adalah
pertarungan ironi versus budaya lokal Madura menghasilkan dendam yang harus
tuntas. Segalanya diceritakan dengan telanjang, murni, cenderung polos, serta lengkap
dengan nuansa Madura yang kental.
Pergulatan
dendam sudah dimulai pada masa kanak-kanak. Tampak pada cerpen berjudul Anak-anak Laut. Harga diri adalah harga
mati, walau harus menantang nyali sendiri. Mattasan dan Ramuk, sepasang bocah
yang berlomba karapan laut yaitu balapan renang dari laut menuju pantai. Ramuk merasa harga diri dan
keluarganya terancam kalau menolak ikut. Walau Ramuk kalah, bola dendam terus
bergulir sampai pada perseteruan sang ayah dan ustadz desa. Urusan yang semula
sederhana semakin rumit saat carok alias bertarung dengan celurit sampai mati
dijadikan solusi.
Ketegangan
berbeda hadir dalam cerpen Sapi Sono’ yang berkisah tentang dendam antar
pemilik sapi hias
dalam kompetisi sapi hias.
Cerpen ini
unik karena menghadirkan sang sapi primadona sebagai tokoh utama. Sentimen dan
segala taktik digencarkan untuk menjegal sang sapi juara sampai berujung pada
tindak amoral yang tak manusiawi.
Ironi
dendam dalam hubungan menantu-mertua digambarkan secara satir dalam cerpen Tubuh Laut. Kacong begitu kesal dan
marah pada sang mertua, Haji Tanglebun, yang kerap menghinanya. Kacong memenuhi
ritual klenik di cungkup makam tua demi menuntaskan kesumat dendamnya pada sang
mertua. Bukan kepuasan yang didapat Kacong, justru kedurhakaan yang teramat
memalukan.
Dendam
dalam kehidupan masyarakat pesisir ini dikupas tanpa jeda dalam alur cerita
yang lincah dan bahasa yang ritmis. Materi ironi memang ditonjolkan, tapi
setiap cerita tidak kehilangan nyawa edukatifnya dalam menyampaikan pesan
kebermaknaan hidup. Menjadi bijaksana, tanpa perlu mengumbar kebajikan
dimana-mana. Makna pengabdian sejati terlihat jelas pada cerpen Wasiat Api. Berkisah tentang Durampak,
juru kunci makam yang menolak pendirian warung demi menarik banyak peziarah. Durampak
tak gelap mata pada harta dan perempuan. Karena Durampak lebih tak rela
masyarakat jadi musyrik dan lingkungan makam yang asri jadi rusak hanya untuk
kepentingan bisnis. Walau jalan sunyi harus dipilih, seperti para tokoh cerita
lainnya dalam buku ini, Durampak lebih memilih menyelamatkan harga diri. Cerpen
sufistik ini teramat menonjol dalam menyampaikan pesan hidup dalam berdamai
dengan dendam demi menjaga kemaslahatan.
Pemakaian
dialek dan kosakata Madura melengkapi paket siap saji suasana Madura karena
ditulis oleh sastrawan asli Madura. Namun penggunaan tanda kutip dan rujukan
istilah yang terlalu banyak kerapkali menyusahkan pembaca dalam memahami isi
cerita secara kontekstual. Pola-pola cerita yang mirip, penggarapan suasana dan
alur yang monoton seringkali memicu jenuh. Hal ini cukup ditolong dengan
kemampuan dan inovasi penulis dalam memainkan pergulatan emosi para tokoh
cerita.
Realitas
sosial tak akan pernah bisa lepas dari ironi yang berkepanjangan, seperti
dendam yang terus diwariskan sampai ada yang berhenti untuk memaafkan. Pergulatan
hidup manusia memang seperti karapan, selalu berlomba mencari kemenangan tanpa
memedulikan dendam yang timbul dari pihak lawan. Buku ini mengajak pembaca
melihat sisi keindahan dendam sekaligus berbalik mempertanyakan kembali esensi
dendam dengan berlandas pada kearifan lokal Madura.
Biarlah
laut ada dimana-mana, tapi Karapan cuma Madura yang punya. Kehadiran buku ini telah
mengisi kekosongan karya sastra Indonesia dari buku berbasis kearifan lokal. Buku
ini seolah ingin berkata bahwa budaya lokal bukan cuma tarian indah atau
lagu-lagu merdu, tapi juga suara yang menunggu untuk disapa.
Jika
di negeri ini sekarang penuh dengan dendam dalam konspirasi politik, maka seperti
tokoh-tokoh dalam buku ini: tak akan pernah ada pemenang sesungguhnya. Karena
pemenang tanpa melakukan perubahan lingkungan hanyalah gelar kosong yang nisbi.
Mau jadi bangsa pendendam?
Resensi ini
meraih Juara 1 Lomba Rubrik Resensi Majalah Komunikasi UM 2014
Comments
Post a Comment