Lebaran (ternyata) bukan Hari Kemenangan



Sebelum membaca isi blog ini karena tumben banget, aku nulis blog saat idul fitri. Aku mau menghaturkan:

            Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.


            Akhir-akhir ini, di televisi (Nah, ini juga keajaiban baru yang terjadi padaku karena aku nyaris tak pernah menonton TV) sering ada semacam diskusi tentang Lebaran. Barulah aku sadari ternyata selama ini aku salah persepsi juga dengan mengatakan lebaran sebagai hari kemenangan (Dari apa?).
            Aku setuju dengan ungkapan Bapak Quraisy Shihab tentang lebaran. Idul fitri hendaknya bukan hanya dianggap sebagai hari kemenangan saja. Itu makna yang kurang pas. Idul fitri kembali pada esensinya ialah sebagai penyucian diri setelah kita bertarung melawan nafsu diri dan meningkatkan ibadah. Hasilnya, diharapkan idul fitri bisa menjadi semacam wisuda atau inagurasi bagi kita (umat muslim tercinta) untuk meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT.
            Benar-benar bikin tercengang. Persepsi atau esensi ini terlanjur mengakar kuat dalam pribadi muslim Indonesia (sepertinya). Lebaran selalu identik dengan hal baru, tapi sayang hanya penampilan fisik saja yang baru. Misal membeli baju baru dan “memamerkannya” di hari lebaran. Ini konsep yang kurang tepat, tapi turun-temurun dan fundamental.
Rujakan bareng saat Lebaran 1433 H.

            Adikku sering kutegur karena jika hanya berlebaran ke tetangga untuk pamer baju atau cari salam tempel. Mana hikmah puasa kita selama sebulan?
            Lebih tepat rasanya memaknai lebaran sebagai hal baru untuk pribadi kita dari dalam. Bukan hanya luarnya saja. Penampilan luar akan tampak indah jika jiwa dan rohani kita sudah tertata dengan baik. Nggak akan ada namanya orang baik tapi tak bisa berpenampilan baik? Dari dalam memancar keluar. Mempertebal keimanan kita kepada Allah dan memperekat persaudaran kita sesama muslim. Tanpa melihat status sosial atau aliran-aliran walau hal seperti itu tak dapat dielakkan lagi. Bisakah sehari saja kita menjadi air yang sama? Artinya sebagai muslim saja, tanpa embel-embel apa pun, hanya keikhlasan pada Allah semata? Kita bermuara dan bersumber dari mata air yang sama kan?
Reuni Lebaran IPA2 '06 di rumah Mama Shofi. Miss it so bad!

            Apa pun itu, aku juga ingin menjadi kembali fitri. Suci. Aku ingin memperdalam islam bukan hanya sebagai kewajiban agama, tapi kebutuhan insani bak bernafas dalam siklus kehidupan.
            Alhamdulillah, lebaran tahun ini dilaksanakan secara serentak. Aku sempat gugup saat menunggu hasil sidang isbat Kemenag RI. Anyway, aku pernah baca tweet tokoh sapa gitu tapa yang jelas mencerap banget dalam renunganku.

Melaksanakan idul fitri itu sunnah, tapi menjaga ukhuwah itu wajib.


           Alangkah beruntungnya, manusia yang berubah semakin baik. Karena semua amal itu misteri. Belum tentu diterima oleh Allah Swt. Masih misteri. Aku biasanya juga selalu memulai lembaran baru habis lebaran dengan membersihkan atau mendekorasi bagian luar diriku saja, sedangkan batin ini masih gersang. Mulai sekarang  aku ingin memulai menghias hati ini mulai dari hal-hal kecil: Memperbanyak sholat sunnah, bangun lebih pagi dan berhenti su’udzon.
            Kamu gimana?

Selamat menyempurnakan Ramadhan,
@fahrul_khakim

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual