Sejarah Polemik Sipil dan Militer Jawa Timur


Judul               : Republik dalam Pusaran Elite Sipil dan Militer
Penulis             : Ari Sapto
Penerbit           : Mata Padi
Tebal               : 384 Halaman
ISSN               : 9786021634325
Peresensi         : Fahrul Khakim (Dosen Universitas Negeri Malang)


            Sejarah politik Jawa Timur memiliki dinamika yang unik dan berbeda dibandingkan dengan sejarah provinsi lainnya. Kondisi geografis turut menentukan arah politik Jawa Timur, terutama dalam pembagian wilayah kekuasaan. Peranan Sungai Brantas dan Bengawan Solo, Jawa Timur sejak lama sudah mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi dan politik sejak kerajaan-kerajaan Kuno, masa VOC- masa Hindia Belanda, sampai PPKI menetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang  Pembentukan Komite Nasional Daerah, termasuk daerah Jawa Timur meliputi Karesidenan Besuku, Bojonegoro, Kediri, Madiun, Madura, Malang, dan Surabaya (Hal. 14-30).
Sejak zaman kemerdekaan 1945, perjuangan di Jawa Timur tidak lepas dari campur tangan para elite militer dan politik. Menariknya, kedua kubu menggunakan strategi kearifan lokal untuk meredam konflik. Strategi ini mewakili identitas khas Jawa Timur yang mampu menyebarkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Selama berlangsung (1945-1949) Revolusi Nasional Indonesia sempat bergerak ke kiri sebelum akhirnya mengarah ke kanan itu menjadi jalan yang paling singkat untuk mencapai pengakuan kedaulatan (Hal. 3).
Buku karya dosen jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang ini merangkum sejarah daerah atau lokal Jawa Timur dengan periode sejak proklamasi (1945) sampai dengan pengakuan kedaulatan (1949). Kesepakatan elite militer dan politik dalam membentuk negara ditempuh lewat proses yang panjang. Diplomasi sebagai cara yang moderat dan tepat untuk perjuangan mencapai kedaulatan. Dalam kondisi semacam ini elite mempunyai peranan penting, walaupun hubungan elite tersebut tidak selalu harmonis antara pusat dengan daerah, begitu juga antara Jakarta dengan Jawa Timur.
Uniknya, Jawa Timur memanfaatkan kearifan lokal dalam melakukan diplomasi politik. Hal ini disampaikan penulis buku bahwa pandangan elite Jawa Timur terhadap pemerintahan dan perjuangan adalah berdasarkan keairfan lokal soko guru; Somo, dono, dendo, waseso (Hal. 108-114).  Somo artinya bersama-sama. Dono artinya memberikan sesuatu kepada rakyat. Dendo artinya memberikan hukuman bila melakukan kesalahan. Waseso artinya adanya kekuatan militer. Prinsip yang dipakai untuk diplomasi adalah yok opo enake, kalah cacak menang cacak.
Pembaca dapat mengetahui fakta baru juga bahwa media juga berperan menggugah semangat perjuangan dengan kesenian seperti; kelompok sandiwara Panca Warna, ketoprak Krido Budoyo, ludruk Sekar Mulya, Wayang Suluh, ceritra yang diangkat umumnya terkait dengan suasana perjuangan (Hal. 216). Pusaran elite militer dan sipil memunculkan pemenang dari polemic politik, akibatnya ada pihak yang merasa kalah dan tidak puas, pemerintah pusat harus ikut campur dalam menyelesaikan masalah ini.

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual