Taklukkan Agorafobia dengan Janji Pelangi


Pelangi bisa menginspirasi siapa saja yang memadangnya meskipun kehadirannya hanya sebentar saja. Namun, saat kesadaran yang muncul untuk merenungi pelangi jadilah memori unik tersendiri yang dapat dituangkan ke bentuk tulisan.
Janji Pelangi dimuat koran Surya
Fahrul Khakim adalah salah satunya. Selasa (27/3/2018), menjadi malam yang istimewa baginya. Lantaran ‘kehadiran’ Terry, Kazu yang blesteran Jepang-Jawa, dan Sigit di Kafe Pustaka, Malang. Ketiganya adalah tokoh utama fiktif dalam novel terbarunya yang berjudul Janji Pelangi yang diterbitkan Bip Gramedia 2018.
Suasana Bedah Novel Janji Pelangi di Kafe Pustaka
Acara itu menghadirkan Ajun Nimbara, pegiat sastra, sebagai pembedah buku dan Dewi Sekar sebagai moderatornya. Bedah buku dimulai dari pemaparan sekilas mengenai isi novel yang berkali-kali membuat Ajun menekankan, banyak kejutan di dalamnya. Salah satunya, pemilihan lokasi dalam novelnya yang mengangkat kearifan lokal Malang Raya.
Terima kasih atas kehadiran kawan-kawan
Hal itu ditemukan di tempat-tempat, seperti toko es krim Oen, Mall Olympic Garden, Malang Town Square, Candi Badut, Museum Mpu Purwa, ladang tebu di Gondanglegi, Pabrik Gula Krebet, Pantai Tamban, hingga Alun-alun Kota Batu.
“Banyak tempat itu sekaligus dapat menjadi promosi pariwisata yang tidak kalah hebat dari kota lain yang sudah biasa dijadikan latar cerita,” ujar Fahrul.
Selain itu, yang membuat khas novel beraliran metropop ini adalah kelainan agorafobia yang diderita Terry, seorang perempuan yang trauma pada masa lalunya. Ia menutup diri dan takut keluar rumah, namun Sigit berhasil mengobatinya.
Menurut penelitian, istilah agorafobia, yaitu kondisi kecemasan saat berada di tempat terbuka karena ketakutan akan ditinggalkan dan tidak berdaya atau merasa tidak ada yang menolong bila serangan panik itu muncul. Kondisi itu menyerang perempuan lebih besar daripada laki-laki.
“Dari buku ini saya baru tahu tentang fobia seperti itu,” kata Ajun dengan sumringah.
Saat membaca Janji Pelangi perasaan dijungkirbalikkan, senang di awal hingga emosi yang semakin memuncak di akhir cerita. Jalan cerita yang sulit ditebak semakin menggugah rasa penasaran.
Penggunaan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jepang, dan bahasa Inggris mewarnai buku.  Frekuensi dua bahasa asingnya memang sedikit, tetapi cukup menggambarkan karakter tokoh-tokohnya.
Bersama sebagian peserta yang hadir
Di akhir bedah buku, Ajun menyatakan adegan yang paling disenanginya adalah ketika trauma masa lalu Terry sembuh dengan cara menolong Sigit.
“Trauma masa lalu akan sembuh dengan menemukan cinta yang baru,” pungkas Ajun.
Ary Kusuma Wardhani
Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang
dimuat koran Surya: Kamis, 29 Maret 2018

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual