Membedah Aloer-aloer Merah
Karya sastra yang mengangkat sejarah
masih cukup jarang di Indonesia. Tidak banyak sastrawan muda yang mengangkat
fakta sejarah sebagai tema utama karya sastra seperti cerpen. Hal ini
memotivasi Ardi Wina Saputra untuk menulis cerpen-cerpen berbasis sejarah lokal
Malang dan sekitarnya. Buku kumpulan cerpen Aloer-aloer Merah yang baru saja
terbit menjadi rekam jejak karya Ardi yang pertama.
Bedah
buku Aloer-aloer Merah itu berlangsung di Aula UKM Universitas Negeri Malang
pada Rabu, 19 April 2017. Suasana sore yang sejuk membuat puluhan peserta yang
hadir menyimak dengan baik paparan dari para penyaji acara antara lain; Asrofi
Al Kindi sebagai moderator, Ardi Wina Saputra sebagai penulis, dan Teguh
Dewangga sebagai pembedah.
Teguh menyatakan banyak
wawasan baru yang didapat dari kumpulan cerpen ini. Teguh menunjukkan kepawaian
Ardi dalam merangkai alur cerita sehingga akhir setiap cerpen seringkali mengejutkan
dan mengesankan. Teguh juga mengacungi jempol hasil riset Ardi yang mendalam
sehingga membuat cerpen-cerpen dalam buku Aloer-aloer Merah tampak nyata dan
literer. Teguh menyayangkan ketergesaan penulis dalam menyampaikan pesan cerita
terlalu gamblang tetapi hal tersebut tidak mengurangi muatan estetik cerita.
Ardi mengaku butuh
waktu bertahun-tahun untuk menulis semua cerpen dalam buku terbarunya itu.
Proses setiap cerpen tentu berbeda namun semuanya berkesan bagi Ardi. Sebenarnya
Ardi lebih banyak terinspirasi menulis cerpen-cerpen dalam buku Aloer-aloer
Merah saat patah hati. Ardi menyatakan bahwa semua nama tokoh dalam cerita itu
diambil dari kisah asmaranya sendiri. Ardi menulis pengalaman traumatisnya itu
menjadi kisah fiksi yang dilatari wawasan sejarah lokal. Tentu saja, Ardi tidak
menjiplak kisahnya sendiri secara keseluruhan karena Ardi sudah meramunya
dengan bumbu-bumbu fiksi agar lebih menarik dan dramatis.
Kumpulan cerpen ini
juga dilengkapi dengan hasil ilustrasi tangan yang imajinatif dan kreatif.
Ilustrasi-ilustrasi tersebut seolah berdiri sendiri namun juga menguatkan isi
cerita dalam buku Aloer-aloer Merah. Desain sampul buku Aloer-aloer Merah yang
adalah rancangan salah satu penulis lokal yang terkenal di Malang juga
melengkapi kemasan apik pada buku ini. Aloer-aloer atau sedair ialah sayuran
segar berdaun mungil yang biasanya tumbuh subur di bantaran sungai. Sayuran ini
ternyata menyimpan kenangan pedih tentang pergundikan pada masa kolonial
Belanda. Kisah tentang kebakaran di Gedung Sekolah Belanda tertua di Malang
juga menarik untuk dibaca karena gedung tersebut sampai sekarang masih ada
setelah direstorasi. Kumpulan cerpen ini sarat kisah tentang perjuangan kaum
proletar dalam meraih kebebasan atas diri sendiri dalam arus sejarah lokal
Malang.
Dimuat
koran Surya: Selasa 25 April 2017
Aku mbaca ini pas di Cipo, Mas. Thanks udah share di sana. Aku nggak hadir jadi berasa hadir. Eman hiks.
ReplyDeleteOek, sama-sama.
DeleteAku lagi menyelesaikan mbaca ini buku. Memang rasanya kayak jalan-jalan dari Bandulan sampai Tongan sampai alun-alun tugu. Apalagi istilah nama jalannya pakai nama lama. Tongan alias embong arab itu juga tempat kelahiranku dan rumah nenekku. Dulu, nenekku waktu kecil suka disuruh beli arang sama orang Belanda. Dari kecil aku familiar banget sama jalan-jalan itu, makanya tau kalau mas Ardi risetnya sungguhan soalnya nama-nama lama jalan-jalan itu persis. Sumpah... Telaten banget risetnya. Kumaafkan buku ini meski nggak ada pembatasnya...
ReplyDeleteWah, selamat membaca
Delete