Ulasan tentang Sebuah ‘Nagasari Ibu’
Dear guys,
September kemarin cerpenku yang
berjudul “Nagasari Ibu” meraih Juara 2 Sayembara Cerpen se-Jawa-Bali 2013 Kategori
Umum/Mahasiswa yang diadakan FLP ranting UM. Cerpen ini mendapatkan kesempatan untuk
dibedah dalam acara Padepokan Aksara UKMP.
Pembedahnya ialah Silvia Siwi,
mahasiswa Sasindo yang produktif menulis, berprestasi dalam bidang sastra, dan
kontributor di web Kampusnews. Pembandingnya ialah Lailinda N., Juara 2 lomba
yang sama tapi tahun 2012. Aku sempat merinding
karyaku dibedah dua calon pakar sastra hebat kayak mereka.
Dari dapa penasaran, yuk curi
ilmunya dari ulasan bedah cerpenku berikut di bawah. Happy reading!
Ini dia
para pembedah & pembanding yang super sekali: Silvi berkerudung magenta (dua
dari kanan) dan Lailinda (dua dari kiri).
Ulasan
tentang Sebuah ‘Nagasari Ibu’*
oleh Silvia Siwi Anggraini
Nagasari
adalah panganan yang unik dan memberikan penuh kejutan. Ya, siapa yang akan
mengira jika di dalam lapisan kukusan tepung beras yang kenyal dan lembut itu,
Anda akan menemukan sepotong pisang yang
kadang manis kadang masam, kadang besar kadang kecil. Ya, kejutan-kejutan
seperti itulah yang barangkali telah terselip di dalam Nagasai Ibu ramuan
Fahrul Khakim ini. Mari kita urai satu demi satu komposisi pembangun Nagasari
Ibu tersebut.
1.
Pembungkus
‘Nagasari Ibu’
Pembungkus
adalah hal pertama yang dinikmati pembaca setelah melihat judul cerpen kita.
Dalam Nagasari Ibu ini, pembuka dan penutup cerita adalah serangkaian
pembungkus cerita yang harusnya dapat bersinergi baik dalam membangun
kemenarikan cerita. ‘Gila.
Cenayang. Penyihir. Stres. Sakit Jiwa. Atau mungkin cinta sejati seperti Habibi
dan Ainun?’ Adalah sebuah paragraf telah berhasil mengajak pembaca
untuk melanjutkan membaca. Penulis berhasil membuat deskripsi-deskripsi yang
sangat singkat yang lantas diimbuhi oleh pertanyaan meragukan tersebut menjadi
sebuah jembatan untuk menuju ke konflik cerita.
Sementara itu, mari
kita lihat bagian penutup cerita. Cerita diakhiri dengan ‘Sayup-sayup semua suara berganti nyanyian kecil
dari alam baka. Aku masih ingat persis, sebelum orbitaku disudut kabut
malaikat. Sabur ….’ Menurut
saya, peletakan penutup pada bagian ini malah membuat gairah Nagasri Ibu
berkurang. Ada kekhawatiran penulis yang tergambar sangat jelas melalui
paragraf kedua sebelum penutup, yaitu bagian “Mas!
Kenapa Mas minum susu itu? Padahal Rita sudah memberikannya pada ibu….” Padahal,
menurut saya, jika cerita tersebut berakhir lebih awal pada bagian ‘“Huhuhuhuuuuu.”
Ibu tersedu-sedu. “Seseorang pasti meracuni Dayat dengan susu. Selama ini ibu
tak pernah memberinya susu apa pun.” Ibu menunjuk mangkuk durjana berisi sisa
putih susu,’ inipun,
tidak akan menjadi masalah. Justru itu akan membuat cerpen tersebut lebih
menggigit dan saya rasa memang pada bagian itulah seharusnya cerita berakhir,
karena dari situlah terdapat ruang untuk pembaca berpikir dan mengkonstruksi ending cerita.
2.
Isi
‘Nagasari Ibu’
a.
Tema/ide
cerita
b.
Konflik
3.
‘Perasa
Manis dan Gurih’
Bahasa dan
alur dapat dikatakan sebagai komposisi yang membuat cerpen terasa ‘manis dan
gurih’. Bahasa yang tidak biasa dan indah yang tepat guna sering menjadikan
mebuah cerpen memiliki nilai lebih. Dalam ‘Nagasari Ibu’ ini, penulis lebih
banyak menggunakan bahasa dengan kalimat yang lugas dan pendek-pendek. Hal
semacam ini sah-sah saja, namun tetap harus diperhatikan letak pemenggalannya
sehingga tidak terkesan seperti sebuah kalimat panjang yang terpaksa dipotong.
Selain itu, ejaan pun harus menjadi perhatian penting, seperti halnya –nya pada kalimat ‘ kutahu, ibunya tak akan berubah’. –Penggunaan
–nya pada kalimat tersebut tidak tepat, karena pada kalimat sebelumnya telag
disebutkan kata ‘kami’ dan ‘aku’ yang berarti telah menggunakan
sudut pandang orang pertama.
Terlepas dari itu
semua, ‘Nagasari Ibu’ telah
memberikan angin segar di tengah maraknya cerita melankolik yang cenderung
pesimistis yang banyak mengusung tema-tema kematian yang klise. Sampai sejauh
ini, saya pribadi masih meraba-raba ‘seekor
tikus kecil berbulu hitam lusuh berlari dengan sangat cepat’ itu.
*Disampaikan pada Padepokan Aksara, 11
September 2013, UKMP UM
aku sudah mampir ke bedak cerpen Padepokan Aksara itu, dan bernostalgia lagi di halaman ini :) semangat semangat
ReplyDeleteMakasih ya, Maula. Senang bisa berbagi pengalaman. Moga bermanfaat.
ReplyDeleteAku juga harus belajar nulis cerpen ma kamu. Kamu kan jago cerpen anak. Kagum sama "Mencuci Baju Sendiri". Ayo, kirim ke Bobo & Kompas Anak. :)