Kampung Lok Padas (Kampung Pemulung)


                      Pada Minggu, 16 September 2012 kemarin, saya mengunjungi sebuah daerah kumuh di tepi jalan raya Adi Sucipto (arah menuju Wendit). Sekilas kampung ini mirip dengan sekumpulan gubuk yang berdebu dan kumuh. Suasana kampung tampak lengang siang itu. Terdapat sekitar 15 rumah berbentuk gubug dengan arah hadap yang berbeda-beda.
 Foto 1. Jalan turunan menuju kampung
            Dua orang perempuan tua tampak sibuk di depan rumah, seorang bocah perempuan berak sembarang di jalanan dekat jalan masuk kampung. Kawanan ayam kampung mondar-mandir di sekitar mereka, mematuki apa saja, walau yang ada hanya dedaunan kering dan barang rongsokan.
            Saya memotret kampung tersebut dari luar pagar sampai puas. Digelitik rasa penasaran, saya turun ke kampung yang letaknya lebih rendah dari pada jalan raya tersebut. Dua perempuan tua masuk ke dalam ke rumah masing-masing setelah salah seorang dari mereka menceboki bocah kecil yang berak tadi. Mereka engan menggubris saya.
Tapi seorang perempuan paruh baya yang cukup gemuk yang duduk di depan sebuah rumah bercat kuning-hijau tampak ramah menyambut kedatangan saya. Beliau juga tak keberatan saat saya ajak mengobrol mengenai kampung tersebut.
Perempuan itu bernama Bu Sulikah, 39 tahun. Dia adalah orang yang sudah tinggal di sana sejak kampung itu berdiri sekitar tahun 1983. Bu Sulikah adalah pendatang dari Banyuwangi. Kampung tersebut adalah kampung pemulung bernama Kampung Lok Padas. Penduduk di kampung tersebut sekitar 63 kepala keluarga. Populasi warganya sekitar 100 orang. Namun setiap tahun jumlahnya tak pasti, kadang bertambah dan berkurang. Semua warga di kampung tersebut adalah pendatang dan berprofesi sebagai pemulung.

Semua pendatang yang tinggal di kampung itu berasal dari luar Malang yaitu Jember, Banyuwangi, Madura, dan lain-lain. Walau penduduk yang beragam latar kelahirannya. Hubungan antar warga di kampung pemulung itu tetap harmoni. Bahkan penduduk di kampung tersebut juga menjalin hubungan baik dengan kampung lain di sekitarnya. Mereka kerap mengadakan tahilan dan arisan antar ibu-bu serta bapak-bapak. Walau tak semua warga pernah mengeyam pendidikan yang layak, tapi anak-anak di daerah tersebut banyak yang bersekolah di SD sampai SMP. Meski kebanyakan akhirnya menikah setelah lulus SMP.

Foto 2. Suasana kampung yang tidak asri
Semua orang di kampung tersebut, terutama kepala keluarga atau laki-laki bekerja mengepul rongsokan atau barang bekas setiap hari. Karena mereka juga harus membayar sewa tanah kampung yang tak murah yaitu Rp.5juta per tahun. Dengan pendapatan sehari-hari yang tak menentu, mereka harus bekerja dengan giat agar bisa menafkahi keluarga. Mereka harus menyetor pada Kepala Pengepul atau akrab disapa Pak Kacong. Biasanya seminggu sekali, rongsokan yang sudah dipilah-pilah ditimbang dan dijual. Saat musim hujan, pemulung lebih mudah mendapatkan rongsokan, terutama yang mengapung di sungai.
Tempat tinggal warga di kampung tersebut sangat sederhana. Hanya rumah Bu Sulikah yang berdinding kayu dan berdiri terpisah dengan rumah lain. Sedangkan rumah warga lain tampak sangat pengab, karena terdiri dari sebuah rumah besar yang disekat-sekat. 1 ruangan untuk 1 keluarga sehingga dalam 1 ruangan tersebut dipakai sebagai tempat tidur, masak, bahkan gudang rongsokan.
Setelah berbincang dengan Bu Sulikah, saya berkeliling ke belakang rumahnya. Ada sungai yang mengalir cukup deras, namun sayang penuh dengan sampah. Anak-anak bermain di sungai yang warnanya begitu keruh dan bau. Saya tak habis pikir penduduk di daerah itu dapat mandi dengan air seperti itu setiap hari. Bu Sulikah tadi menjelaskan bahwa untuk mandi penduduk di kampung itu memang memanfaatkan air sungai yang keruh dan kehijauan. Sedangkan untuk mandi dan mencuci mereka memanfaatkan sumur di dekat jalan menuju sungai. Penduduk di kampung ini tak merasa terusik dengan kehadiran saya.
rang rongsokan berserakan di berbagai sisi rumah penduduk. Warga di sini bertubuh kurung dan baju yang kebesaran. Mereka sibuk di dalam rumah untuk memilah plastik dan besi rongsokan yang akan disetor. Sementara di sisi barat kampung, ada pembangunan sebuah kompleks perumahan yang cukup mewah.
Foto 3. Sungai yang kotor dan keruh
Sangat ironi sebenarnya membayangkan sebuah komplek perumahan dikelilingi oleh gubug-gubug pemulung. Dari tepi jalan yang letaknya lebih tinggi dari kampung pemulung Lok Padas, bahkan tingginya sama dengan atap rumah kampung tersebut, di ujung selatan terlihat perkampungan pemulung lain yang tak kalah reyotnya.
Tapi bagi Bu Sulikah, perhatian pemerintah sudah cukup baik. Mereka sudah memiliki KTP Malang, Askeskin, bahkan mendapat bantuan dari berbagai lembaga. Salah satunya lembaga Amerika yang memberi bantuan berupa pompa air manual yang diletakkan di tengah perkampungan. Namun sayang, kedalaman sumur pompa kurang dalam, hanya sekitar 13 meter sehingga air cepat habis dan keruh. Pompa tersebut kini mangkrak.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual