Aduhai, Bali dan Indonesia Timur Tempo Dulu
Oleh: M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang
Sejarah
Bali dan Indonesia Timur sampai sekarang masih sedikit dikaji oleh para
sejarawan dan peneliti di Indonesia. Padahal sejak abad ke-16, kawasan ini telah
menarik banyak penjelajah dan peneliti dari berbagai penjuru dunia. Mereka begitu
takjub pada kekayaan alam, terutama rempah-rempah, dan keindahan alamnya yang
eksotik. Namun kenapa Indonesia Timur seolah menjadi daerah yang tertinggal di
Indonesia? Padahal dari segi historis kawasan ini juga berperan penting dalam
jalur perdagangan rempah-rempah di dunia.
Kajian ini dibahas dengan cukup
menarik dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang pada tanggal 14 Mei 2012 di
Gedung A3 Lt. 2 UM. Tema diskusi publik kali ini ialah “Bali dan Indonesia
Timur Tempo Doeloe”, maka hadir sebagai para pemateri ialah Dewa Agung Gede
Agung, M. Hum (Sejarawan FIS UM), Anggaunitakiranantika, M. Sos (Sosiolog FIS
UM), JJ. Rizal (Penikmat Budaya, Penerbit Komunitas Bambu Depok). Diskusi
publik ini sekaligus bedah buku “Bali Tempo Doeloe” dan “Indonesia Timur Tempo
Doeloe 1544-1992”, kedua buku terbitan 2012 ini merupakan serial “Tempo Doeloe”
yang rutin diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu.
Bapak Dewa memaparkan hasil
kajiannya terhadap buku “Bali Tempo Doeloe”. Buku ini merupakan antologi dari berbagai
penulis, penjelajah dan wisatawan yang berkunjung ke Bali sejak abad ke-16
sampai 20 yang diramu oleh Adrian Vickers. Buku ini cukup komperehensif dengan
berbagai tema artikel dalam perspektif sosial budaya, kepariwisatawan,
historis, religi dan politik. Sedangkan dua tema yang akan diperkenalkan adalah
pura dan sistem irigasi (subak). Kedua hal tersebut merupakan salah satu produk
budaya dan adat bali yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Ibu Angga memaparkan hasil review-nya terhadap buku “Indonesia
Timur Tempo Doeloe 1544-1992”. Buku ini juga merupakan bunga rampai dari
penulis, penjelajah serta misionaris yang berkunjung ke Indonesia Timur yang dirangkum
dan diedit oleh George Miller. Menurut pemateri, buku ini mampu menghadirkan
suasana Indonesia Timur tempo dulu lengkap dengan tradisi serta kehidupan
masyarakat di Indonesia Timur sangat unik dan spesifik, dimana sukun adalah
pruduk yang paling berharga bagi mereka. Bahkan sebenarnya mereka sendiri tidak
mementingkan tanaman cengkeh dan pala karena belum mengetahui nilai kegunaannya
sebelum kedatangan bangsa Portugis yang memperkenalkan kedua rempah itu sebagai
komoditi perdagangan yang bernilai tinggi.
Sebagai penyelaras dari seluruh
kajian terhadap kedua buku tersebut, Bapak Rizal mengambil kesimpulan penting
tentang perspektif eropasentris dan sejarah pasca kolonial yang kerap
meremehkan Indonesia Timur sehingga membuat kawasan tersebut seolah tertinggal
padahal kekayaan alamnya melimpah. Salah bentuk ketertinggalan tersebut
disebabkan masyarakat di sana dipisahkan dari laut yang menjadi sumber
kehidupan mereka sejak masa nenek moyang. Hasilnya, diskusi tersebut diharapkan
bisa membuka paradigma pemikiran baru tentang Bali dan Indonesia Timur yang
lebih baik.
Comments
Post a Comment