Foto Kenangan

FotoKenangan
Oleh: Fahrul Khakim[1]
            
            Para tetangga itu berbisik-bisik, mencibirku. ”Dia gila! Tidak mau menerima kenyataan.”
            ”Kasihan sekali dia! Cantik-cantik gila!” sahut yang lainnya.
            Aku melotot geram ke arah mereka. Tapi mereka keburu kabur karena ketakutan. Aku tutup gerbang rumah dengan dongkol. Siapa yang gila? Aku baru pulang dari rumah sakit untuk menjenguk Intan, sahabatku, yang lagi sakit parah. 
            Saat aku sampai di rumah, hari sudah gelap.
            Kubuka lembaran-lembaran album kenanganku bersama orang-orang yang kusayangi, dan yang telah pergi meninggalkanku. Aku selalu berharap dengan melakukan hal itu aku bisa bertemu mereka di alam tidurku nanti.

/Foto Ibu/
            Ibu adalah orang pertama yang meninggalkanku untuk selamanya. Beliau juga yang mengenalkanku pada rasa meninggalkan dan tinggalkan. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku. Beliau meninggal dengan tenang, itu lah yang dikatakan ayahku. Saat itu aku belum mengerti bahwa ibuku telah meninggal, umurku baru tiga tahun.
Tak banyak kenangan manis yang ditorehkan ibuku dalam ingatanku. Selain jasa-jasanya yang besar karena telah melahirkan dan merawatku dengan penuh kasih. Di foto yang setiap malam aku pandangi, Ibuku punya lesung pipi yang cantik dan rambut ikal yang berkilau. Nyaris sama sepertiku.

/Foto Luna/
            Luna, adikku yang manis. Kami dibesarkan oleh ayah dengan baik sampai kami remaja. Dia adik yang cerdas. Lebih pintar dariku, bahkan dia adalah anak yang paling cerdas di keluarga kami. Saat SMP dia sering mengikuti banyak perlombaan dan memenangkan juara. Kadang aku iri padanya. Dia juga pandai bergaul. Kata ayah, Luna sangat mirip dengan Ibu. Sedangkan tabiatku lebih mirip dengan ayah, pemalas dan suka berkhayal.
            Banyak kenangan manis yang aku miliki bersama Luna. Seperti saat kami sama-sama bohong sama Ayah tentang nilai ulangankuyang olalajeleknya. Kompak dalam segala hal. Saat jalan-jalan di mal, kami selalu menyempatkan diri untuk berburu buku diari baru. Hingga kami tidak menyangka ternyata koleksi buku diary kami sudah mencapai puluhan diari, semuanya lucu dan menggemaskan. Tapi kami malah malas untuk menulisinya dengan kata-kata. Kami hanya memajangnya sebagai koleksi.
            Kita selalu jujur pada perasaan kita sendiri. Luna, kau selalu bilang padaku meski pun kau dianggap Bintang Murid yang selalu dielu-elukan, kau sendiri merasa bahwa kau selalu lebih rendah dariku. Kau selalu saja merasa canggung saat didekati cowok, merasa malu untuk sedikit berdandan agar mereka melirikmu. Aku juga ingat kau suka pada kakak kelasmu yang bernama Ryu. Tapi tidak pernah berani mengatakannya karena cowok itu terlalu keren untukmu.
Aku juga ingat saat kau memintaku mendandanimu habis-habisan saat kau diundang Ryu untuk datang sebagai tamu kehormatankarena prestasimu di sekolahdi ultahnya yang ke-15. Aku ingat saat kau pulang dari pesta itu dengan wajah merona merah karena Ryu mengajakmu berdansa.
            Tak kusadari setetes embun bening mengalir di pelupukku hingga jatuh ke fotomu yang lucu. Luna, kenapa kau harus pergi secepat itu? Pergi setelah kau mendapatkan dansa pertamamu dengan cowok impianmu? Aku mungkin marah pada Tuhan karena memintamu lebih awal dari yang aku kira. 
            Aku ingat saat terakhir melihatmu. Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah wajahmu bersinar-sinar bak bidadari. Aku silau dengan senyumanmu yang ceria dan sejuk. Siangnya saat aku sedang sibuk latihan cheersdengan teman-temanku, berita itu datang tak terduga. Bus yang kau tumpangi mengalami kecelakaan fatal. Semua penumpang tidak ada yang selamat. 
            Aku pingsan saat bersikeras ingin melihat wajahmu untuk terakhir kali waktu jasadmu disemayamkan di rumahsakit. Aku tak kuasa melihatnya Tidak mungkin adikku yang paling kuasayangi itu harus pergi dengan cara seperti ini. Kau dimakamkan di samping makam ibu. Setiap hari kamis, aku selalu mengunjungi kalian berdua. Menabur bunga-bunga harum di atas tanah peristirahatan kalian.

/Foto Intan/
            Intan, sahabatku. Terima kasih telah membuatku bertahan hingga sejauh ini. Kapan kita bisa bersama lagi? Aku tidak pernah ingin membayangkan bagaimana jadinya kalau kau tidak ada di sampingku saat aku sedih. Aku ingat bagaimana perjuanganmu---sebagai sahabat yang baik-agar aku bangkit dari kesedihanku dan menatap masa depan. Sejak kematian Luna, kau selalu menghiburku, menjadi sahabat bicara, bahkan lebih dari itu. Kau memberiku dukungan lebih dari yang ku harapkan. Itulah yang membuatku bangkit dan tersenyum lagi.
            Setahun setelah pemakaman Luna, persahabatan kita semakin erat. Kau ingat dengan pahatan nama  kita di pohon akasia di belakang sekolah yang kita buat bersama. Pahatan itu sekarang masih ada, semoga saja selamanya ada. Kau ingat saat kau bertemu dengan cinta pertamamu, Wira? Aku selalu tertawa mengingat kejadian romantis kalian. Kau dan Wira mulai dekat gara-gara rebutan bakso di kantin sekolah.
            Hari-hari berlalu kalian berdua semakin kompak. Lalu kau memberanikan diri untuk menyatakan cintamu padanya. Keberaniamu sungguh tidak pernah kuduga. Seperti akhir yang tidak ku duga juga, dia akhirnya mengaku bahwa selama ini Wira menyukaiku. Dia mendekatimu karena dia ingin mendapatkanku. 
            Intan, maafkan aku! Sungguh. Aku benar-benar tak tahu kalau selama ini dia mencintaiku. Gara-gara Wira juga, kau akhirnya patah hati dan persahabatan kita jadi berantakan. Luka hatimu yang parah hingga aku tak mampu mengobatinya. Kau tidak pernah memberiku ruang dan waktu untuk menjelaskan semuanya. Memberiku kesempatan untuk memperbaiki persahabatan kita. Kau menganggap ini semua sudah terlambat dan tidak dapat diperbaiki lagi. Hingga sampai saat ini aku tidak pernah mau menerima cintanya.
            Puncaknya, kau jatuh sakit. Anemia yang parah hingga dokter memvonismu terjangkit leukimia. Penyakit yang selama ini kau sembunyikan dariku berubah menjadi kuat. Menggerogoti setiap sel dalam tubuhmu sehingga membuatmu semakin menderita lahir-batin. Kalau saja aku bisa menggantikanmu melawan penyakit itu, pasti aku bersedia.Besok Intan akan menjalani operasinya lagi. Aku harus datang ke rumah sakit pagi-pagi. Akan ku buktikan padanya aku benar-benar sahabat yang setia. Intan, aku akan selalu ada di dekatmu. 
            Kring!!!Dering telepon yang menggila itu terdengar samar. Aku tadi tertidur karena kelelahan...
* * *
            Sinar matahari masuk melalui jendela kamar dan membuat tubuhku hangat terbakar. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Pukul berapa sekarang? Sudah pukul 8 pagi. Oh, operasinya akan dimulai pukul 9 nanti. Aku tidak boleh terlambat.
            Aku meloncat turun dari taksi dengan napas memburu. Suara derap langkahku berpacu dengan degup jantungku yang berderak kencang. Aku menyusuri setiap koridor rumah sakit dengan khawatir. Hawa dingin di sini mengoyak lapisan bajuku, menembus kulitku sampai ke tulang.
            Langkahku terhenti di depan ruang operasi.Dimana keluarga Intan? Apa mereka belum datang? Sekarang ’kan sudah pukul 9? Ayolah, dokter menjunjung sikap kedisiplinan. Kecuali jika dokter itu buta waktu.
            ”Tiwi!” seseorang memanggilku dengan suara berat.
            ”Wira!” sahutku, setelah menoleh. ”Keluarga Intan mana?”
            Wira menggeleng, membuatku bingung. Alisku pun bertautan. 
            ”Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tanpa ekspresi. Tatapannya sendu. ”Aku menelponmu semalam. Kenapa tak kau angkat?”
            ”Aku mau menunggu operasi Intan. Bukankah hari ini dia sedang dioperasi? Aku sudah tidur waktu kau menelepon. Sori,”
            ”Sudahlah, Tiwi!” Wira mendesah, sok capek. ”Sadarlah! Kau hanya trauma.”
            Aku melotot mendengarnya. ”Apa menurutmu aku ini gila?”
            ”Tidak.”  Wira menggeleng tegas. ”Kau hanya trauma berlebihan. Aku tahu semua kisah hidupmu, tapi ini semua pasti akan berakhir.” jelasnya, berteori.
            ”Terus apa maumu? Bukankah kau yang menyebabkan semua ini?” Kurasa mataku mulai perih dan memanas. ”Belum puas kau menghancurkan persahabatan kami?”
            ”Aku tidak akan pernah menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.” Dia berkilah.
            ”Memangnya kau tahu apa, hah?” tuntutku. Dia memang menyebalkan.
            Kami terdiam lamaDia hanya duduk diam menemaniku di bangku koridor. 
            ”Dimana sih ortunya Intan?” gerutuku pada diri sendiri.
            “Mereka tidak akan datang.” Wira menyahut.
            ”Diam, Monyet Kampung!” semprotku tajam.
            ”Tiwi! Jangan lari atau bersembunyi dari kenyataan.” Dia berkata pelan-pelan. ”Ini semua sudah berlalu. Intan sudah pergi. Dia sudah dimakamkan seminggu yang lalu. Operasinya gagal. Kau histeris waktu itu dan pingsan. Kami tidak berani membawamu ke makamnya karena kau truama selama tiga hari. Sadar, Wi!”
            Hampa. Kosong. Hingga akhirnya aku ingat kejadian itu. Mulai berputar dalam otakku yang telah lama kubekukan memori itu karena aku takut. Aku takut kehilangan orang yang kusayangi lagi. Kemudian aku histeris karena sadar semua telah terjadi.
            Samar-samar, aku mendengar suster-suster itu berbisik dari arah pintu. ”Kasihan sekali dia! Sahabatnya sudah meninggal, tapi dia tidak terima.”
Aku tak sanggup lagi. Terlalu rumit dan sukar menerima kenyataan pedih ini. Tak lama kemudian tangisanku mulai surut, kesadaranku mulai runtuh.* * *
dimuat koran Radar Banyuwangi: Minggu, 10 November 2019


[1]Dosen Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang. Novel terbarunya;Janji Pelangi(BIP, 2017)

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Waktu

Jangan Buang Putung Rokok Sembarangan

Mengenal Data Tekstual